"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Rabu, 30 Januari 2013

Tasawuf Moral dan Tasawuf Falsafi

Tasawuf merupakan praktek spiritual dalam Islam (ruhul islam), tasawuf memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan” saja. Maka, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal. Berbeda dengan “agama” yang bersifat umum (dalam Islam kita kenal dengan istilah syari’ah/syari’at), jalan tasawuf kemudian kita kenal dengan istilah tarekat/thariqah (dekat dengan istilah tirakat). Dalam jalan ini setiap pendaki (salik/murid) akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam sufi dikenal dengan istilah mursyid).
Dimana antara satu guru dengan guru (para mursyid) yang lain sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda karena berbeda thariqoh berbeda pula metode yang di gunakan, antara thariqah Qodariya pasti berbeda dengan Syathoriyah, pun dengan Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tidjaniya, Dasuqiyah dll. Sang murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang meyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui thariqah tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain. Hingga sang murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri sang murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan”.
Menurut penulis pribadi antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf moral –setelah melewati fase tadi- mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat. Namun syariat yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan. Sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali.
Berbeda dengan tasawuf falsafi, setelah sampai pada fase tersebut, sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”. Tapi mau tetap Menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan. Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol (syathohat) dalam kondisi ekstase. Berujar mengaku sebagai Sang Kebenaran atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan. Atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan. Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan. Tapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf? Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini menyandang predikat sesat atau yang berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini.
Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih. Bahkan bagi sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah. Disinilah perlunya kita bisa memahami Islam (dari sisi kajian dan praktek) baik dari sisi teologi, tasawuf, fikih dan filsafat. Agar tidak mudah terjebak dalam absolutisme dan arogansi fikih misalnya atas tasawuf, teologi maupun filsafat sehingga saling menyalahkan satu sama lain karena ketidak-mengertian kita terhadap metodologi yang digunakan.
Apa yang contohkan Al-Ghazali & al-Rumi yaitu untuk segera pulang setelah bertemu Tuhan, seharusnya bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf saat ini. Al-Ghazali menghiasi syariat dengan laku dengan nilai-nilai hakikat. Atau Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra…
Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri setiap manusia. Yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” (terhijab) lagi oleh potensi atau hal lain dalam diri kita. Wallahu a’lam

Tasawuf Penting Tapi Syari'at Adalah Pondasinya

ini ada selingan dikit, hasil perbincangan kemarin antara saya dan 2 orang teman yang sudah lama gak ketemu, setelah basa-basi, temen saya ini akhirnya ngomong masalah agama, nah banyak unsur yang menarik disini (menurut saya)
saya singkat temen saya itu dengan Alfan  dan Badrun (bukan nama asli)

Saya : Ente berdua dimana sekarang (biasa pakai ente kalau udah ngomong ma temen sendiri)
Alfan & Badrun : Kami sekarang masih dalam proses belajar
Alfan : Jo (panggilan saya, anggap saja nama saya Bejo hehe…), ente tau gak bahwa kita ini diciptain dari Nur Muhammad,......akhirnya dia ngejelasin tentang ini sampai membahas prihal fuad, lathoif (jamak dari lathifah) dan ilmu tasawuf lainnya.
Saya : wah, ente hebat, saya baru tahu dikit aja.

Akhirnya kami jalan dan Badrun bilang kerjaannya sekarang mengajar ngaji Al-Qur'an anak-anak SD kelas 1 dan 2.
Pas saat itu si Badrun baca Qur’an, karena saya pikir ada yang agak janggal dengan cara ngajinya akhirnya saya nanya : eeee..Badrun....kalo gak salah itu hukumnya mad wajib muttasil ya....kalau yang ane denger tadi ente bacanya jadi ke mad thabi’ie
Badrun :…??????
Saya : kok bengong, makhroj huruf ‘ain itu dimana? tenggorokan bawah, tengah pa atas.
Badrun : ............tengah kayanya
Saya : kok kayanya? bukannya ente ngajarin orang?, kok bisa gak yakin ama makhrarijul huruf
em...... eh...Bad....kalo huruf hijaiyah itu jumlahnya berapa?
Badrun :............28
Saya : bener segitu ? gak 29 ?
Badrun :............(lama banget mikirnya)
karena si Badrun mikirnya lama akhirnya saya balik nanya ke si Alfan
saya : eh...al (al adalah panggilan alfan)...tadi ente kan bicara tentang Nur Muhammad, nah saya mau nanya dikit, kalo ente buang air kecil atau besar kan harus dibasuh tuh.....nah pake apa ngebasuhnya bro?
Alfan : ya pake air lah...aneh tu pertanyaan
Saya : ha..ha....iya-iya maaf deh, saya tahu pake air, kalo gak ada air bisa pake tisu atau batu.........tapi saya mau nanya air apa? Air mutlak, musta'mal, atau yang lain?
Alfan :.............
Saya : yang saya tahu kalau membersihkan sesuatu dari najis harus pake air mutlak atau air suci dan bisa mensucikan, atau jangan jangan air yang biasa ente pakai buat wudhu selama ini ente pakai air musta'mal wah cilaka 12 bro! ... ente berati belum bersih dan syah buat sholat
Alfan :............
Saya : nah karena sudah bicara tentang air, saya sekalian nanya tentang wudhu basuh telinga itu sunnah atau rukun?
Alfan:.............
Saya : kok bengong? sunnah apa rukun....kalo gitu yang makruh ama yang haram dalam wudhu apa?
Alfan :............loh emang ada?
Saya : memang ada kan, yang saya tahu kalo ente memperlambat wudhu sementara adzan udah berkumandang nah itu udah makruh, kalo ente mengatakan yang rukun itu sunnah, yang sunnah itu rukun maka jadi haram. Nah, jadi kalo ente bilang basuh telinga tu rukun sementara itu hanya sunnah maka wudhu ente udah haram.
kalo haram shalat kita diterima gak?

Maaf ya, saya ngomong kaya gini bukan mau sombong atau apa, tapi saya ngomong kaya gini karena ente tadi udah ngomong Nur Muhammad, sirr, maqomat aulia, karomah dan lain lain sedangkan si Badrun udah ngajar ngaji ke anak-anak SD, soalnya kalo ente belajar hanya untuk diri sendiri, ente cukup belajar sedikit, tapi kalo udah mau ngajarin orang lain ente harus banyak belajar ini bukan kata-kata saya, tapi kata Imam Syafi'ie r.a

Ente juga harus hari-hati, soalnya kalo ente ngasih pelajaran sementara pelajaran itu gak ente amalin, maka ente bakal nanggung dosa yang sangat banyak karena ente nanggung dosa ente dan dosa orang yang ente ajarin yang gak ngamalin ilmu tersebut.

Ente juga ngomong Nur Muhammad dll itu udah masuk ranah ilmu hakikat atau tassawuf dan ahwal ma'rifat , karena itu ane nanya ilmu syariat atau fiqih supaya ente gak salah jalan, dalam artian ibadah ente benar.

Kalau ente aja gak tau tentang thaharah, jenis-jenis air, ceboknya salah, wudhunya salah, shalatnya salah, nah bagaimana amal ibadah ente bakal diterima. yang lebih parah lagi kalo ente gak hapal rukun islam sama rukun iman

Karena sebenarnya yang kita takutkan itu bukan amal yang sedikit, tapi kalau amalnya itu gak diterima oleh Allah swt, ini bukan saya yang bilang tapi sayyidina Ali bin abi thalib karamallahu wajhah

Coba kalau ente tengok ulama-ulama besar baik yang sekarang maupun yang dulu kaya wali songo, syekh khoalil bangkalan, habib mundzir, dll. Mereka semua kuat banget ilmu fiqihnya, baru naik belajar tassawuf dan pendalaman hakikat tentang rukun iman dan islam serta arti diri kita.

Saran saya sih, mendingan cari guru lah, ngaji kitab fiqih dulu, ngajinya jangan sendiri tapi ada gurunya.

Kalau ente ngerasa malu balik belajar dari awal artinya ente udah sombong, dan itu bukanlah perilaku ulama-ulama besar warisatul anbiya

Contohnya salah satu guru Syekh Khalil bangkalan itu adalah seorang pemuda yang usianya sama dengan anak Syekh Khalil (atau masyhur di panggil Mbah Khalil Bangakalan)

Kalau ulama sebesar Syekh Khalil saja mau belajar ama yang lebih muda, kenapa kita enggak?

Saya cuma saran ya......gak bermaksud mengajari terlebih-lebih menghakimi tapi sekedar mengingatkan supaya kita sama-sama gak salah jalan, karena ente udah ane anggap keluarga, jadi hak saya untuk ngingetin saudara, kalau ente rada tersinggung saya mohon maaf.

akhirnya kami pisah dan temen saya akhirnya mau balik lagi belajar dari dasar.

Rahasia Dzikir

Ibnu Athaillah As Sakandary
Dzikir itu bermacam-macam. Sedangkan Yang Didzikir hanyalah Satu, dan tidak terbatas. Ahli dzikir adalah kekasih-kekasih Allah. Maka dari segi kedisiplinan terbagi menjadi tiga:
Dzikir Jaly
Dzikir Khafy
Dzikir HaqiqiDzikir Jaly (bersuara), dilakukan oleh para pemula, yaitu Dzikir Lisan yang mengapresiasikan syukur, puhjian, pebngagungan nikmat serta menjaga janji dan kebajikannya, dengan lipatan sepuluh kali hingga tujuh puluh.Dzikir Batin Khafy (tersembunyi) bagi kaum wali, yaitu dzikir dengan rahasia qalbu tanpa sedikit pun berhenti. Disamping terus menerus baqa' dalam musyahadah melalui musyahadah kehadiran jiwa dan kebajikannya, dengan lipatan tujuh puluh hingga tujuh ratus kali.
Dzikir Haqiqi yang kamil (sempurna) bagi Ahlun-Nihayah (mereka yang sudah sampai di hadapan Allah swt,) yaitu Dzikirnya Ruh melalui Penyaksian Allah swt, terhadap si hamba. Ia terbebaskan dari penyaksian atas dzikirnya melalui baqa'nya Allah swt, dengan symbol, hikmah dan kebajikannya mulai dari tujuh ratus kali lipat sampai tiada hingga. Karena dalam musyahadah itu terjadi fana', tiada kelezatan di sana.

Ruh di sini merupakan wilayah Dzikir Dzat, dan Qalbu adalah wilayah Dzikir Sifat, sedangkan Lisan adalah wilayah Dzikir kebiasaan umum. Mananakala Dzikir Ruh benar, akan menyemai Qalbu, dan Qalbu hanya mengingat Kharisma Dzat, di dalamnya ada isyarat perwujudan hakikat melalui fana'. Di dalamnya ada rasa memancar melalui rasa dekatNya.

Begitu juga, bila Dzikir Qalbu benar, lisan terdiam, hilang dari ucapannya, dan itul;ah Dzikir terhadap panji-panji dan kenikmatan sebagai pengaruh dari Sifat. Di dalamnya ada isyarat tarikanpada sesuatu tersisa di bawah fana' dan rasa pelipatgandaan qabul dan pengungkapan-pengungkapan.

Manakala qalbu alpa dari dzikir lisan baru menerima dzikir sebagaimana biasa.

Masing-masing setiap ragam dzikir ini ada ancamannya.
Ancaman bagi Dzikir Ruh adalah melihat rahasia qalbunya. Dan ancaman Dzikir Qalbu adalah melihat adanya nafsu dibaliknya. Sedangkan ancaman Dzikir Nafsu adalah mengungkapkan sebab akibat. Ancaman bagi Dzikir Lisan adalah alpa dan senjang, maka sang penyair mengatakan :

Dialah Allah maka ingatlah Dia
Bertasbihlah dengan memujiNya
Tak layaklah tasbih melainkan karena keagunganNya
Keagungan bagiNya sebenar-benar total para pemuji
Kenapa masih ada
Pengandaian bila dzikir-dzikir hambaNya diterima?
Manakala lautan memancar, dan samudera melimpah
Berlipat-lipat jumlahnya
Maka penakar lautan akan kembali pada ketakhinggaan
Jika semua pohon-pohon jadi pena menulis pujian padaNya
Akan habislah pohon-pohon itu, bahkan jika dilipatkan
Takkan mampu menghitungnya.
Dia ternama dengan Sang Maha Puji
Sedang makhlukNya menyucikan sepanjang hidup
Bagi kebesaranNya.

Perilaku manusia dalam berdzikir terbagi tiga:

* Khalayak umum yang mengambil faedah dzikir.
* Khalayak khusus yang bermujahadah
* Khalayak lebih khusus yang mendapat limpahan hidayah.
* Dzikir untuk khalayak umum, adalah bagi pemula demi penyucian. Dzikir untuk khalayak khusus sebagai pertengahan, untuk menuai takdir. Dan dzikir untuk kalangan lebih khusus sebagai pangkalnya, untuk waspada memandangNya.
* Dzikir khalayak umum antara penafian dan penetapan (Nafi dan Itsbat)
* Dzikir khalayak khusus adalah penetapan dalam penetapan (Itsbat fi Itsbat)
* Dzikir kalangan lebih khusus Allah bersama Allah, sebagai penetapan Istbat (Itsbatul Istbat), tanpa memandang hamparan luas dan tanpa menoleh selain Allah Ta'ala.
* Dzikir bagi orang yang takut karena takut atas ancamanNya.
* Dzikir bagi orang yang berharap, karena inginkan janjiNya.
* Dzikir bagi penunggal padaNya dengan Tauhidnya
* Dzikir bagi pecinta, karena musyahadah padaNya.
* Dzikir kaum 'arifin, adalah DzikirNya pada mereka, bukan dzikir mereka dan bukan bagi mereka.
* Kaum airifin berdzikir kepada Allah swt, sebagai pemuliaan dan pengagungan.
* Ulama berdzikir kepada Allah swt, sebagai penyucian dan pengagungan.
* Ahli ibadah berdzikir kepada Allah swt, sebagai rasa takut dan berharap pencinta berdzikir penuh remuk redam.
* Penunggal berdzikir pada Allah swt dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
* Khalayak umum berdzikir kepada Allah swt, karena kebiasaan belaka.

[pagebreak] Hamba senantiasa patuh, dan setiap dzikir ada yang Diingat, sedangkan orang yang dipaksa tidak ada toleransi.

Tata cara Dzikir ada tiga perilaku :
1. Dzikir Bidayah (permulaan) untuk kehidupan dan kesadaran jiwa.
2. Dzikir Sedang untuk penyucian dan pembersihan.
3. Dzikir Nihayah (pangkal akhir) untuk wushul dan ma'rifat.
Dzikir bagi upaya menghidupkan dan menyadarkan jiwa, setelah seseorang terlibat dosa, dzikir dilakukan dengan syarat-syaratnya, hendaknya memperbanyak dzikir :
"Wahai Yang Maha Hidup dan Memelihara Kehidupan, tiada Tuhan selain Engkau."

Dzikir bagi pembersihan dan penyucian jiwa, setelah mengamai pengotoran dosa, disertai syarat-syarat dzikir, hendaknya memperbanyak :
"Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Hidup nan Maha Mememlihara Kehidupan."

Ada tiga martabat dzikir :
Pertama, dzikir alpa dan balasannya adalah terlempar, tertolak dan terlaknat.
Kedua, dzikir hadirnya hati, balasannya adalah kedekatan, tambahnya anugerah dan keutamaan anugerah.
Ketiga, dzikir tenggelam dalam cinta dan musyahadah serta wushul. Sebagaimana dikatakan dalam syair :

Kapan pun aku mengingatMu, melainkan risau dan gelisahku
Pikiranku, dzikirku, batinku ketika mengingatMu,
Seakan Malaikat Raqib Kau utus membisik padaku
Waspadalah, celaka kamu, dzikirlah!
Jadikan pandanganmu pada pertemuanmu denganNya
Sebagai pengingat bagimu.

Ingatlah, Allah telah memberi panji-panji kesaksianNya padamu
Sambunglah semua dari maknaNya bagi maknamu
Berharaplah dengan dengan menyebut kebeningan dari segala yang rumit
Kasihanilah kehambaanmu yang hina dengan hatimu
Siapa tahu hati menjagamu

Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga hal :

* Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt, merupakan pengapus dosa dan peningkatan derajat.
* Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk berdialog dengan Allah swt, merupakan kebajikan luhur dan taqarrub.
* Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt, Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi kehadiran jiwa dan musyahadah.

Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada wal penempuhannya memperbanyak membaca "Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan NurNya pada qalbunya dan menguatkan tauhidnya.

Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu Ahad" seratus kali maka ia telah membeli dirinya dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala, dan ada suara berkumandang dari sisi Allah Ta'ala di langit-langitNya dan di bumiNya, "Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah orang yang dimerdekakan Allah, maka barang siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan hendaknya ia mengambil dari Allah swt .

Diriwayatkan pula: "Siapa yang memperbanyak Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan memperbanyak rizkinya, serta mengampuni dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung. Allah memberikan jalan keluar di setiap kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan ia lagi bangkrut. Segala sesuatu mengandung siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah alpa dari hadirnya hati dalam dzikir."[pagebreak]

Dalam hadits sahih disebutkan:
"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu, memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu dan tauhid adalah wacananya.

Pintu dzikir itu tafakkur,
Pintu pemikiran adalah kesadaran.
Sedang pintu kesadaran zuhud.
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang beranak pinak di sana.

Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu pun bisa mengancam dan membahayakannya. Sebagaimana dinkatakan :
"Dengan Nama Allah, tak ada satu pun di bumi dan juga tidak di langit yang membahayakan, bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad (Allah) ini, menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah", masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak akan menemukan hakikat, karena adanya hasrat kemakhlukan.

Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima. Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan, simbol, khayalan dan imajinasi. Namun Allah swt, ridlo kepada kita dengan hal demikian, bahkan memberi pahala, karena memang tidak ada jalan lain dalam berdzikir, mentauhidkan, dari segi ucapan maupun perilaku ruhani kecuali dengan menyebut Ismul Mufrad tersebut menurut kapasitas manusia dari ucapan dan pengertiannya.

Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari kaum 'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan model di atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya adalah maqom yang dimaklumi."

Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba, memberikan keistemewaan pada hambaNya. Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.

Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu faktor tertentu, namun muncul dari pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh dengan ma'rifat dan pengagungan padaNya, disertai penghormatan yang sempurna dan penyucian sejati, memandang anugerah, maka ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala, benar-benar berdzikir dan mengagungkanNya dan mengenal kekuasaanNya.

Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya, sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.

Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan mereka dan mereka tidak bersama mereka dan tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki baginya."

Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia disucikan
Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya pangkal penghabisan.

Rahasia Transformasi Gerakan Shalat & Keajaiban Angka 19

Dalam kitab suci Al-Quran banyak terkandung rahasia-rahasia yang harus dipikirkan oleh umat manusia. Memang, beberapa ayat Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diminta untuk menggunakan akal fikirannya untuk memikirkan arti dan kandungan ayat-ayat Allah, baik yang implisit maupun eksplisit. Salah satunya, yang baru diketahui manusia sekarang adalah rahasia angka dalam Al-Quran. Misalnya, sebuah angka dari sekian banyak dan paling sering muncul di dalam Al-Quran adalah angka 19. Angka 19 itu didapat dari berbagai perhitungan, salah satunya adalah jumlah dari bacaan basmalah yang berjumlah 19 huruf. Selain jumlah huruf bacaan basmalah yang 19, jumlah seluruh huruf dalam Alquran adalah 330733, yang bila dibagi dengan bilangan 19 akan ditemukan angka 17407 x 19.

Tengok juga jumlah surat dalam Alquran, sebanyak 114. Angka 114 itu bila dipertemukan dengan 19 akan diperoleh hitungan 6 x 19 = 114. ”Bahasa matematikanya kita sebut ’nx19’. Mungkin itulah yang dimaksud dalam Alquran surat Al-Muddats-tsir, ke 74 ayat 30; ”Dan di atasnya ada sembilan belas.”

Jumlah rakaat salat selama setahun dengan jumlah ayat dalam Alquran. Bila dihitung, jumlah rakaat salat wajib (5 waktu) dalam 1 tahun qomariah adalah 6018 rakaat, ditambah 319 rakaat salat tarawih – witir di 29 hari Ramadan, dan 4 rakaat salat Id (Fitri & Qurban), maka ditemukan angka 6341. Subhanallah, angka ini sama dengan jumlah ayat dalam Alquran, minus 7 ayat Al Fatihah, yakni 6341.

Tidak hanya angka ajaib (angka 19), tapi ditunjukkan pula tentang putaran atau sudut yang dibuat saat melakukan shalat. Bukti ini dikenal dengan bentuk transformasi shalat. Salah satunya, salat gerhana berhubungan dengan terjadinya gerhana baik matahari maupun bulan. Dalam shalat gerhana ada dua kali rukuk, setiap ruku’ dianggap bersudut 90 derajat. Jika dijumlah maka sudutnya menjadi 180 derajat. Dalam matematika ini membentuk garis lurus. Logikanya, jika dalam tiap kali kita melakukan ruku itu membentuk 90 derajat, maka dalam tiap satu raka’at itu kita membentuk 360 derajat, sebagaimana bumi berputar yang menandakan sebagai sebuah proses kehidupan. Ternyata, ratusan tahun kemudian para ahli baru menemukan bahwa gerhana pun terjadi akibat posisi bulan, bumi dan matahari yang berada pada satu garis lurus.

Contoh lain, bacaan Allahu Akbar yang diucapkan pada shalat Tarawih dan Witir dengan hari Ramadhan 29 ditambah shalat Ied, akan didapat jumlah 1.786. Angka itu kalau dibagi 19, didapat 94. Adapun angka 94 merupakan jumlah kalimat Allahu Akbar dalam shalat lima waktu; Subuh 11 kali, Dzuhur 22 kali, Ashar 22 kali, Maghrib 17 kali, dan Isya 22 kali.

Sekarang kalau shalat lima waktu kita transformasikan ke bentuk roda gigi, maka gigi tersedikit untuk bumi adalah 12. Angka 12 ini diperoleh dari kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dari 2.3.4 yang tak lain adalah 12. Kemudian, bila dijabarkan satu per satu ; shalat Subuh punya roda gigi berjumlah 6 (dari 12 dibagi 2 rakaat). Shalat Dzuhur 3 kali (12 dibagi 4), Ashar 3 kali, Maghrib 4 kali (12 dibagi 3) dan Isya 3 kali. “Yang menarik, gigi shalat ini jumlahnya 6-3-3-4-3 atau 19. Itu sama dengan kalimat Bismilahirahmanirrahim yang berjumlah 19 huruf. Luar biasa, bukan?

Rahasia Dibalik Gerakan Sholat

Salah satu kewajiban umat Islam adalah melaksanakan sholat lima waktu. Sholat ternyata tidak hanya menjadi amalan utama di akhirat nanti, tetapi gerakan-gerakan sholat ternyata paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Bahkan dari sudut medis, sholat adalah gudang obat dari berbagai jenis penyakit.

Selama ini sholat yang dilakukan lima kali sehari oleh umat Islam, sebenarnya telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi yang melakukan sholat tersebut. Gerakan sholat sampai dengan salam memiliki makna yang luar biasa baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Tetapi sayang hanya sedikit dari umat Islam yang memahaminya. Berikut ini beberapa manfaat gerakan sholat bagi kesehatan manusia:

Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram, berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut atau dada bagian bawah. Manfaat: Gerakan ini melancarkan aliran darah, getah bening (limfe) dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung di bawah otak memungkinkan darah mengalir lancar ke seluruh tubuh. Saat mengangkat kedua tangan, otot bahu meregang sehingga aliran darah kaya oksigen menjadi lancar. Kemudian kedua tangan didekapkan di depan perut atau dada bagian bawah. Sikap ini menghindarkan dari berbagai gangguan persendian, khususnya pada tubuh bagian atas.

Rukuk
Rukuk yang sempurna ditandai tulang belakang yang lurus sehingga bila diletakkan segelas air di atas punggung tersebut tak akan tumpah. Posisi kepala lurus dengan tulang belakang. Manfaat, Postur ini menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang (corpus vertebrae) sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf. Posisi jantung sejajar dengan otak, maka aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Tangan yang bertumpu di lutut berfungsi relaksasi bagi otot-otot bahu hingga ke bawah. Selain itu, rukuk adalah latihan kemih untuk mencegah gangguan prostat.

Iktidal
Bangun dari rukuk, tubuh kembali tegak setelah, mengangkat kedua tangan setinggi telinga. Manfaat: i’tidal adalah variasi postur setelah rukuk dan sebelum sujud. Gerak berdiri bungkuk berdiri sujud merupakan latihan pencernaan yang baik. Organ-organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Efeknya, pencernaan menjadi lebih lancar.

Sujud
Menungging dengan meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai. Manfaat: Aliran getah bening dipompa ke bagian leher dan ketiak. Posisi jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Karena itu, lakukan sujud dengan tuma’ninah (jangan tergesa gesa) agar darah mencukupi kapasitasnya di otak. Postur ini juga menghindarkan gangguan wasir. Khusus bagi wanita, baik rukuk maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan organ kewanitaan.

Duduk
Duduk ada dua macam, yaitu iftirosy (tahiyyat awal) dan tawarruk (tahiyyat akhir). Perbedaan terletak pada posisi telapak kaki. Manfaatnya, saat iftirosy, tubuh bertumpu pada pangkal paha yang terhubung dengan syaraf nervus Ischiadius. Posisi ini menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan.
Duduk tawarruk sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih (urethra), kelenjar kelamin pria (prostata) dan saluran vas deferens. Jika dilakukan. dengan benar, postur irfi mencegah impotensi. Variasi posisi telapak kaki pada iffirosy dan tawarruk menyebabkan seluruh otot tungkai turut meregang dan kemudian relaks kembali. Gerak dan tekanan harmonis inilah yang menjaga. kelenturan dan kekuatan organ-organ gerak manusia.

Salam
Gerakan memutar kepala ke kanan dan ke kiri secara maksimal. Manfaatnya untuk relaksasi otot sekitar leher dan kepala menyempurnakan aliran darah di kepala. Gerakan ini mencegah sakit kepala dan menjaga kekencangan kulit wajah.

Pada dasarnya, seluruh gerakan sholat bertujuan meremajakan tubuh. Apalagi jika dilakukan secara rutin, maka sel-sel yang rusak dapat segera tergantikan. Regenerasi pun berlangsung lancar. Alhasil, tubuh senantiasa bugar. Jadi bagi umat Islam yang belum melakukan sholat dengan benar dan khusyuk, dari sekarang ubahlah, karena sholat itu selain menjadi salah satu tanda orang bertakwa, ternyata sholat itu sangat baik buat kesehatan

Rahasia Besar Wudu' 2

Setiap perintah Allah SWT tentu memiliki hikmah kebaikan dibaliknya. Bayangkan bahwa wudhu adalah ritual pengkondisian seluruh aspek hidup, mulai dari psikologis & fisiologis. Lima panca indera…kok kena semua tanpa terkecuali disapu oleh air wudhu. Mata, hidung, telinga & seluruh kulit tubuh. Ini betul-betul luar biasa.
Ahli syaraf/ neurologist pun telah membuktikan dengan air wudhu yang mendinginkan ujung-ujung syaraf jari-jari tangan dan jari-jari kaki berguna untuk memantapkan konsentrasi pikiran.
Anda tentu pernah mendengar akupunktur kan? Coba cari tahu dimana saja letak titik-titik sensitif yang sering digunakan dalam ilmu akupunktur? Lalu kemudian amati pola wudhu. InsyaAllah anda akan segera menemukan benang merah diantara keduanya.
Coba bayangkan…
Pada anggota badan yang terkena perlakuan wudhu terdapat ratusan titik akupunktur yang bersifat reseptor terhadap stimulus berupa basuhan, gosokan, usapan, dan tekanan/urutan ketika melakukan wudhu. Stimulus tersebut akan dihantarkan melalui meridian ke sel, jaringan, organ dan sistim organ yang bersifat terapi. Hal ini terjadi karena adanya sistem regulasi yaitu sistem syaraf dan hormon bekerja untuk mengadakan homeostasis (keseimbangan). 

Titik-titik akupunktur, suatu fenomena yang menarik bila dikorelasikan dengan kaifiyat wudhu yang disyari’atkan 15 abad yang lalu. Setelah dihitung-hitung…ternyata terdapat 493 titik reseptor pada anggota wudhu!!
Anggota Wudhu(rukun dan sunat) Jumlah Titik Akupunktur
Wajah 84
Tangan 95
Kepala 64
Telinga 125
Kaki 125
Jumlah 493

Subhanallah!! 
Bayangkan jika kita melakukan itu setiap hari paling sedikit 5 kali sehari…
Ternyata kita harus semakin teliti saat menjalani wudhu. Mengapa? Coba ingat-ingat saat kita membasuh telapak kaki & tangan…apakah sela-sela jari sering kita abaikan? Ternyata ada fakta menarik yang tidak boleh luput :
Satu diantaranya adalah ketika melakukan takhlil, diantara sela-sela jari tangan dan kaki terdapat masing-masing satu titik istimewa (Ba Sie pada sela-sela jari tangan & Ba Peng pada sela-sela jari kaki). Jadi, keseluruhannya terdapat 16 titik akupunktur. 

Berdasarkan riset fakar akupunktur, titik-titik tersebut apabila dirangsang dapat menstimulir bio energi (Chi) guna membangun homeostasis. Sehingga menghasilkan efek terapi yang memiliki multi indikasi, seperti untuk mengobati migren, sakit gigi, tangan-lengan merah, bengkak, dan jari jemari kaku.
Lain lagi tentang telinga…ternyata ada 30 hadist yang mendukung ini. BTW, saya pernah coba sebuah produk akupunktur yang menggunakan tenaga listrik. Lucu juga, karena alat ini disimpan di daun telinga. Dan ketika dialiri listrik rasanya seperti telinga ditusuk-tusuk. Saya semakin paham bahwa daun telinga, selain sebagai aksesoris, ternyata terkandung banyak sekali titik reseptor syaraf.
Makanya, saat menyapu telinga itu jangan cuma membasuh saja, tapi harus dengan pijatan juga. Ini namanya aurikulopressure alias pijat akupunktur telinga.
Khasiat Wudhu :
Berkumur
Penelitian modern membuktikan bahwa berkumur dapat menjaga mulut dan tenggorokan dari radang dan menjaga gusi dari luka. Berkumur juga dapat menjaga dan membersihkan gigi dengan menghilangkan sisa-sisa makanan yang terdapat di sela-sela gigi setelah makan. Manfaat berkumur lainnya yg juga penting adalah menguatkan sebagian otot-otot wajah dan menjaga kesegarannya. Berkumur merupakan latihan penting yang diakui oleh pakar dalam bidang olahraga, karena berkumur jika dilakukan dengan menggerakkan otot-otot wajah dengan baik dapat menjadikan jiwa seseorang tenang.
Membasuh Hidung
Penelitian ilmu modern yang dilakukan oleh tim kedokteran Universitas Aleksandria membuktikan bahwa kebanyak orang yg berwudhu secara kontinyu, maka hidung mereka bersih dan bebas dari debu, bakteri dan mikroba. Tidak diragukan lagi bahwa lubang hidung merupakan tempat yg rentan dihinggapi mikroba dan virus, tetapi dengan membasuh hidung secara kontinyu den melakukan istinsyaq (memasukan dan mengeluarkan air ke dan dari hidung di saat berwudhu), maka lubang hidung menjadi bersih dan terbebas dari radang dan bakteri, dan ini mencerminkan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Proses ini dapat menjaga manusia akan bahaya pemindahan mikroba dari hidung ke anggota tubuh yg lain.
Membasuh Wajah dan Kedua Telapak Tangan 
 Membasuh wajah dan kedua telapak tangan sampai ke siku memiliki manfaat yang sangat besar dalam menghilangkan debu dan mikroba, lebih dari membasuh hidung. Membasuh wajah dan kedua telapak tangan sanpai ke siku juga daat menghilangkan keringat dan permukaan kulit dan membersihkan kulit dari lemak yg dipartisi oleh kelenjar kulit, dan ini biasanya menjadi tempat yg ideal untuk berkembang biaknya bakteri.
Membasuh Kedua Telapak Kaki
Membasuh kedua telapak kaki dengan memijat secara baik danpat mendatangkan perasaan tenang dan nyaman, karena telapak kaki merupakan cerminan seluruh perangkat tubuh. Orang yang berwudhu seakan-akan memijat seluruh tubuhnya satu-persatu, padahal ia hanya membasuh kedua telapak kakinya dengan air dan memijatnya dengan baik. Ini merupakan salah satu rahasia timbulnya perasaan tenang dan nyaman yang dirasakan oleh seorang muslim setelah berwudhu.
http://praja-mustarinuralam.blogspot.com/2012/05/rahasia-fisioterapi-wudhu.html

Rahasia besar Wudhu

Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan neurolog Austria, menemukan rahasia menakjubkan tentang wudhu. Ia mengemukakan bahwa pusat-pusat syaraf yg paling peka, yaitu sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Dari sini ia menghubungkan hikmah wudhu yg membasuh pusat-pusat syaraf tersebut. Ia bahkan merekomendasikan agar wudhu bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan. Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, mk berarti orang akan memelihara kesehatan dan keselarasan pusat sarafnya. Akhirnya Leopold menjadi muslim  karena mengetahui rahasia kemuliaan wudhu.

Prof Dr H Nasaruddin Umar dalam rubrik Hikmah Ensiklopedia Islam,www.republika.co.id , juga menambahkan bahwa ulama fikih juga menjelaskan hikmah wudhu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani. Daerah yang dibasuh dalam air wudhu, seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing termasuk kotoran. Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh.
Para  ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudhu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudhu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.
Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari? Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudhu ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.

Drs. Oan Hasanuddin, R.O, Akp, MA  , dalam buku Mukjizat Berwudhu  , menjelaskan  bahwa anggota badan yang dibasuh air wudhu memiliki titik akupresure dan akupunktur yang sangat bermanfaat bagi kesehatan seseorang. Titik-titik tersebut merupakan bagian titik pijat dan akupunktur untuk mengobati berbagai macam penyakit.

Saudaraku, yakinlah tentu masih banyak  rahasia  yang belum tergali oleh apara ahli. Hikmah-hikmah ini semakin menguatkan bukti bahwa syariat dari Allah SWT bukanlah hal yang sia-sia untuk diterapkan, tapi justru membawa kemaslahatan besar bagi pelakunya dan semakin meningkatkan keimanan seseorang terhadap kebenaran perintah Allah SWT.
Rasulullah pernah bersabda , yang artinya “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246) .
Rasulullah  SAW pernah bersabda , yang artinya . "Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia  menyempurnakan wudhunya, niscaya akan keluar dosa-dosannya dari tubuhnya, sampai keluar (dosa-dosa) dari bawah kuku-kuku  jarinya.(H.R Muslim no. 245)
 Rasululullah pernah bersabda , yang artinya  "Barang siapa diantara kalian yg berwudhu kemudian membaguskan wudhunya lalu ia bangkit shalat dua rakaat yg ia hadapkan hati dan wajahnya (kpd Allah) maka pasti ia akan mendapat syurga dan diampuni dosa-dosanya (H.R Muslim no. 234).
 Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa tidur dimalam hari dlm keadaan suci (berwudhu) maka Malaikat akan tetap mengikuti, lalu ketika ia bangun niscaya Malaikat itu akan berucap 'Ya Allah ampunilah hamba mu si fulan, kerana ia tidur di malam hari dlm keadaan selalu suci'". (HR Ibnu Hibban dari Ibnu Umar r.a.)
 Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah. ibnu Yazid, Abu Abdur Rahman AlMuqri, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Syaddad ibnu Abdullah AdDimasyqi yang mengatakan bahwa Abu Umamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Absah yang menceritakan bahwa ia pemah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang wudu (yang baik),
maka Rasulullah Saw. bersabda , yang artinya"Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mendekati (akan melakukan) wudhunya, lalu ia berkumur dan beristinsyaq dan beristinsar (menyedot air untuk membersihkan hidung, kemudian mengeluarkannya), melainkan gugurlah semua kesalahan (dosa-dosa) dari mulut dan lubang hidungnya bersamaan dengan air ketika beristinsar.
Setelah itu ia membasuh wajahnya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah semua dosa wajahnya dari ujung janggutnya bersamaan dengan air.
Kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua tangannya dari ujung-ujung jemarinya.
Kemudian menyapu kepalanya, melainkan berguguranlah dosadosa kepalanya dari semua ujung rambut bersamaan dengan air.
Kemudian membasuh kedua telapak kakinya berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua telapak kakinya dari ujung jari jemarinya bersamaan dengan air.
Setelah itu ia berdiri dan membaca hamdalah serta pujian kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya* ("Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang bertobat dan jadikanlah aku sebagai bagian dari orang-orang yang bersuci".) , lalu melakukan salat dua rakaat, melainkan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya."

Abu Umamah berkata, "Hai Amr, perhatikanlah apa yang kamu katakan tadi, apakah kamu mendengar semuanya dari Rasulullah Saw. Apakah beliau memberi hadis ini seluruhnya kepada lelaki yang seperti kamu?"
Maka Amr ibnu Absah menjawab, "Hai Abu Umamah, sesungguhnya aku telah berusia lanjut dan semua tulangku sudah rapuh, usiaku telah di ambang senja. Aku tidak perlu berdusta atas nama Allah dan atas nama Rasulullah. Seandainya aku tidak mendengar hadis ini dari Rasulullah Saw. kecuali hanya satu kali atau dua kali atau tiga kali (niscaya aku tidak akan menceritakannya). Sesungguhnya aku mendengarnya dari beliau sebanyak tujuh kali atau lebih dari itu."
Muhammad Kamil Abd Al-Shomad dalam Al-I’jaz Al-Ilmiy fi Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah,  menjelaskan bahwa manfaat semua hal yang diperintahkan dalam wudhu sangatlah besar bagi tubuh manusia. Mulai dari membasuh tangan dan menyela-nyela jari, berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam lubang hidung, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, membasuh telinga, hingga membasuh kaki hingga mata kaki.
Buya Hamka dalam  Lentera Hidup menuliskan keutamaan wudhu. “Sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari-semalam setiap Muslim diperintahkan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat. Meskipun wudhu belum lepas (batal), disunahkan pula memperbaharuinya. Oleh ahli tasawuf, diterangkan pula hikmah wudhu itu. Mencuci muka artinya mencuci mata, hidung, mulut, dan lidah kalau-kalau tadinya pernah berbuat dosa ketika melihat, berkata, dan makan.
Mencuci tangan dengan air seakan-akan membasuh tangan yang telanjur berbuat salah. Membasuh kaki dan lain-lain demikian pula. Mereka memperbuat hikmat-hikmat itu meskipun dalam hadis dan dalil tidak ditemukan. Tujuannya adalah supaya manusia jangan membersihkan lahirnya saja, sementara batinnya masih tetap kotor. Hati yang masih tamak, loba, dan rakus, kendati sudah berwudhu, maka wudhunya lima kali seharisemalam itu berarti tidak berbekas dan tidak diterima oleh Allah SWT, dan shalatnya pun tidak akan mampu menjauhkan dirinya dari perbuatan fakhsya’ (keji) dan mungkar (dibenci).”
Buya Hamka menambahkan, wudhu itu dapat menyehatkan badan. “Kita hidup bukanlah untuk mencari pujian dan bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala hal. Meski itu tidak kita cari, kalau kita senantiasa menjaga kebersihan, kita akan dihormati orang juga.”
Saudaraku,  wudhu adalah  yang besar nilainya  disisi Allah subhanahu wata’ala.  Sehingga  ini menjadi modal motivasi  kita untuk selalu dalam kondisi suci (berwudhu’) dan berupaya bagaimana berwudhu’ dengan sempurna yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Imam an-Nawawi bahwa  "Sesungguhnya apa2 yg ia dapatkan dari derajat (orang2 yg suka berwudhu) adalah ia mampu berjuang membela dirinya dari kejahatan syaitan dan meniadakannya, menjaga dirinya sampai tidak akan diganggu oleh syaitan walau hanya sekejap matapun. Dia selamat dari syaitan  dengan usaha perjuangannya (untuk melakukan sunnah2 wudhu) dan kelapangan bagi hatinya.
Wallahu a'lam
Sumber  : http://harapansatria.blogspot.com/

Rahasia Sujud Untuk Kesehatan

Sujud ialah meletakkan kepala di bumi. Ketika sujud, fikiran berada lebih rendah daripada hati. Ulama mengatakan bahawa sujud ketika solat adalah waktu manusia paling dekat dengan Allah SWT.
Mungkin ramai dalam kalangan umat Islam tidak menyedari akan hikmah yang tersembunyi ketika sujud. Pada hal, kita perlu sedar bahawa tiada suatu pun ciptaan dan suruhan Allah S.W.T. yang sia-sia, malahan ciptaan itu mempunyai kelebihan yang selalunya tidak terjangkau akal manusia.

Antara hikmah lain sujud adalah melegakan sistem pernafasan dan mengembalikan kedudukan organ ke tempat asalnya. Bernafas ketika sujud pula boleh:
•membetulkan kedudukan buah pinggang yang terkeluar sedikit dari tempat asalnya.
•membetulkan pundi peranakan yang jatuh.
•melegakan sakit hernia (burut)
•mengurangkan sakit senggugut ketika haid.
•melegakan paru-paru daripada ketegangan.
•mengurangkan kesakitan bagi pesakit apendiks atau limpa.
•kedudukan sujud adalah paling baik untuk berehat dan mengimbangkan lingkungan bahagian belakang tubuh.
•meringankan bahagian pelvis.
•memberi dorongan supaya mudah tidur.
•menggerakkan otot bahu, dada, leher, perut serta punggung ketika akan sujud dan bangun daripada sujud.
•pergerakan otot itu menjadikan ototnya lebih kuat dan elastik, secara automatik memastikan kelicinan perjalanan darah yang baik.
•bagi wanita, pergerakan otot itu menjadikan buah dadanya lebih baik, mudah berfungsi untuk menyusukan bayi dan terhindar daripada sakit buah dada.
•mengurangkan kegemukan.
•pergerakan bahagian otot memudahkan wanita bersalin, organ peranakan mudah kembali ke tempat asal serta terhindar daripada sakit gelombang perut (convulsions) .
•organ terpenting iaitu otak manusia menerima banyak bekalan darah dan oksigen.


Sujud melibatkan 5 anggota badan yang bertumpu pada bumi, yaitu dahi, hidung, kedua telapak tangan, lutut, dan kedua ujung kaki (jari2 kaki). Sujud adalah merendahkan diri, memuji ALLAH and meminta segala macam pinta kpd ALLAH .. Sekaligus, mengikis sifat sombong, ria, takabur, dll.
Dr Fidelma O’Leary, Phd Neuroscience dari St Edward’s University, telah menjadi muallaf, krn mendapati fakta ttg manfaat sujud bagi kesehatan. Dalam kajiannya ditemukan ada bbrp urat syaraf di dlm otak manusia yg tdk dimasuki darah dan urat ini baru bisa dimasuki darah pada sa’at manusia sujud. Tetapi urat syaraf ini hanya memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Yaitu, pada waktu2 sholat yg telah ditetapkan (waktu subuh, zuhur, ashar, maghrib, ‘Isya). Subhanallah.
 So, siapa yg tidak sholat maka urat ini tidak menerima darah shg otaknya tdk berfungsi secara normal. Maka tdk heran, timbul macam2 gejala sosial masyarakat saat ini.
Karena letak otak di atas jantung, maka kata Alm.Prof Hembing : jantung, hanya mampu membekalkan 20% darah ke otak manusia, jadi dibantu dengan sujud yg lebih lama agar menambah kekuatan aliran darah ke otak. (Kalau begitu sesuai apa yg disuruh Nabi Muhammad SAW, supaya kita sujud lama-lama di rakaat terakhir, sambil banyak meminta semua keinginan kita). Manfa’at sujud lama2 ini, untuk menolak pening, dan migrain, menyegarkan otak, menajamkan akal pikiran (peka), melegakan sistim pernapasan, membetulkan pundi peranakan yg jatuh, memperbaiki kedudukan bayi sungsang, dll.
Otak merupakan pusat pengatur dari seluruh kegiatan manusia, di dalamnya tdpt banyak sekali urat2 saraf, yg bertugas masing2. Bentuknya spt org sujud… Subhanallah….!!!:)

http://cahyaimancahayakebenaranislam.files.wordpress.com/2012/03/sujud-012.jpg

Sumber :
http://cahyaimancahayakebenaranislam.wordpress.com

Gus Dur Tentang Tradisi dan Modernitas

Berbicara tentang tradisi dan modernitas dalam pandangan Gus Dur, mesti dimulai dengan pengertian tentang kebudayaan atau budaya. Menurut Gus Dur kebudayaan adalah “seni hidup yang mengatur kelangsungan hidup dan menjadi pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial. Dengan kata lain kebudayaan adalah suatu yang luas mencakup inti hidup dari kehidupan suatu masyarakat”; atau “penemuan suatu masyarakat dalam arti buah yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dan manusia, kelompok dan kelompok, dan kebudayaan hanya menjadi kebudayaan kalau ia hidup dan mengacu pada kehidupan.” Pengertin ini adalah pengertian budaya secara luas.
Karena kebudayaan berhubungan dengan masyarakat, maka kebudayaan juga dimaksudkan Gus Dur dengan “kolektivitas dari pengalaman lahir dan batin seluruh warga masyarakat, baik didasarkan pada metabolisme biologis atau kebutuhan psikologis, dan kecanggihan pemikiran.” Akan tetapi Gus Dur juga menyebutkan: “Budaya adalah kegiatan berpikir, bertindak dan merasa yang dilakukan masyarakat yang menampilkan identitasnya sebagai suatu kesatuan.” Definisi ini menjembatani arti luas dan sempit yang berkembang tentang budaya: pertama, yang luas berarti “keseluruhan pola perilaku sosial dan individual manusia di suatu kawasan (atau dalam pengertian di atas); kedua, pengertian sempit, yaitu “buah penalaran dan pandangan belaka, sehingga mengarah pada hasil seni dan sastra.”

Dengan demikian, kebudayaan selalu mencakup di dalamnya juga tradisi, dinamika di dalam masyarakat, dan modernisasi, di samping unsur-unsur yang lain. Sebab kebudayaan mengandung di dalamnya unsur-unsur: kompleks gagasan, konsep, dan pikiran masyarakat; kompleks aktivitas  masyarakat; dan wujud material benda atau fisik. Ada juga yang menyebutkan unsur-unsur kebudayaan dalam 7 bagian, yaitu: sistem religi dan ritual, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan dan sistem pemikiran, mata pencaharian, teknologi, bahasa, dan kesenian.
Menurut Gus Dur, dalam berbagai unsur itu, kebudayaan  selalu berhubungan dengan  human social life, yang terdiri dari tiga pokok penting, yaitu ekonomi, politik, dan negara. Pandangan ini mencerminkan pengaruh adanya ilmu sosial kritis yang menggariskan melihat perubahan sosial, juga harus melihat dan membaca dari sudut ekonomi, politik dan negara, di samping pengaruh-pengaruh lain.
 ***
 Dengan demikian, tradisi adalah bagian dari kebudayaan masyarakat. Di sini, maksud tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat; adat kebiasaan yang turun-temurun dari nenek moyang yangg masih dijalankan dalam masyarakat; ada dimensi penerusan dari generasi ke generasi secara tertulis maupun lisan; dan ada aspek material fisiknya serta nilai-nilainya. Tradisi dalam artian ini menyangkut keseluruhan aspek kehidupan dalam kebudayaan masyarakat: ada tradisi ekonomi, tradisi politik,  dan lain-lain.
Dengan demikian tradisi adalah bagian penting dari kebudayaan, karena tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup, langgeng, diteruskan, dan dilestarikan masyarakat. Karena tradisi menjadi inheren dalam kebudayaan masyarakat, bahkan yang menyangganya, maka dia selalu dan ingin dipertahankan, karena bisa menciptakan kesatuan, kohesifitas, dan daya tahan identitas masyarakat. Hanya saja, meski tradisi  selalu dianggap baik, tetapi dia akan selalu berhadapan dengan kenyataan sosial yang terus menerus berubah, dan ini tidak bisa dielakkan oleh semua tradisi.
Oleh karena itu, Gus Dur menyebutkan, suatu yang terus menerus menjadi bahan diskusi, perdebatan, dan obrolan bahkan di kalangan orang yang memiliki tradisi dalam sebuah masyarakat (jadi bukan hanya bagi pengamat), yaitu: “Suatu aksi rasional yang sambung menyambung dalam suatu keterpaduan untuk memahami, mengubah, mempertahankan kebudayaan itu sambil memberikan kemungkinan untuk diubah lagi demi kehidupan berkelanjutan menuju kehidupan sosial yang manusiawi,” yang berarti setiap perubahan selalu ada tantangannya; dan jalan ke arah perubahan harus menyediakan ruang terhadap perubahan lanjutan.
Di sini,  jelas setiap tradisi berhadapan dengan  tantangan pengembangan, karena ada faktor-faktor yang mendorong adanya perubahan. Faktor-faktor ini bisa berupa teknologi, kebutuhan masyarakat, ekonomi, politik,  campr tangan negara, pemikiran yang muncul dalam anggota pelestari tradisi itu sendiri, dan lain-lain. Karena tradisi selalu dan mesti berhubungan dengan pengembangan, Gus Dur menekankan pentingnya arti dinamisasi dalam tradisi, agar sebuah tradisi bisa terus hidup, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi alat untuk menggerakkan perubahan dan meresponnya.
Menurut Gus Dur dinamisasi mencakup dua proses: “Penggalakan kembali nilai-nilai hidup lama yang positif (yaitu tradisi yang ada), selain itu juga mencakup penggantian nilai-nilai lama  dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai ini disebut modernisasi, dan dengan sendirinya pengertian modernisasi terkandung dalam dinamisasi itu.” Dalam kata dinamisasi di sini, mengandung pemahaman “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan  dengan menggunakan sikap hidup, nilai-nilai, dan peralatan yang telah ada,” yang berarti perubahan terus menerus sebagai bagian dari upaya kemanusiaan penyempurnaan kualitas masyarakat itu sendiri dengan berpijak pada tradisi. Dan, dinamisasi itu sendiri, bukanlah westernisasi, dan Gus Dur tidak menginginkan adanya westernisasi ini.
Bahkan Gus Dur sampai berkesimpulan: “Nilai-nilai keindoneisaan kita adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.”  Ada tiga pilar penting yang menjadi ciri nilai-nilai sejenis ini, yaitu: solidaritas sosial; nilai yang menampilkan kosmopolitanisme (menjadi bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun); dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat berlingkup luas, tetapi berhadapan di sisi lain dengan rendah hati yang timbul dari kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan diri  berhadapan dengan tantangan dramatis kehidupan mereka.
Dinamisasi ini, berbeda dengan apa yang disebut sebagai revolusi atas tradisi atau revolusi budaya. Dalam revolusi budaya, yang ada adalah penaggantian total, dan penguburan dalam-dalam atas tradisi yang sudah ada atau kebudayaan yang ada, bahkan dengan cara berdarah-darah sekalipun. Dalam revolusi, penggantian dengan hal-hal baru seringkali menyakitkan dan menimbulkan luka-luka mendalam bagi masyarakat pembela tradisi, meski revolusi itu berhasil sekalipun. Luka-luka ini sulit disembuhkan dan akan bergerak ke area-area terdalam masyarakat secara sembunyi-sembunyi sebagai bahan dari resistensi, dan dalam tahap tertentu akan membesar menjadi “pembrontakan” kebudayaan.
Dengan demikian, menurut Gus Dur perubahan struktur masyarakat tanpa Karl Marx, dimungkinkan dan dibutuhkan masyarakat kita. Perubahan jenis ini adalah dengan mengedepankan transformasi struktur. Syaratnya adalah adanya kreativitas masyaraka atau masyarakat sipil yang kuat, yang memiliki idealitas, meski tentu saja dengan tetap menerima sebagian cara analisis sosial-ekonominya Marx. Jadi tidak membuang Marxisme sama sekali, dan juga tidak menerima sepenuhnya. Yang diinginkan adalah penguatan masyarakat yang bisa mengimbangi kekuatan negara, sehingga muncul kontrol public yang tajam dan kuat.
Tentu saja arah pengembangan sebuah tradisi yang berart dinamisasi haruslah diorientasikan pada kebutuhan-kebutahan yang dianggap jauh lebih sempurna dan baik, baik dari sisi pertimbangan ekonomi, politik, dan agama sekalipun, bagi masyarakat tradisi itu sendiri. Secara gradual, hasil-hasil dari dinamisasi harus bisa dirasakan dan dianggap lebih sempurna bagi masyarakat. Tanpa ini, sebuah dinamisasi pasti akan gagal dengan sendirinya. Penyesuaian-penyesuaian ini, dan karenanya bukan perombakan total, selalu  dan mesti ada negosisasi di antara sesama masyarakat sendiri. Kalaupun sudah disetujui, perubahan ini selalu dan mesti membutuhkan strategi agar dinamisasi itu berjalan dengan apik dan membuahkan hasil. Pepatah dan kata bijak yang cocok untuk ini, pernah dipakai dan diungkapkan Gus Dur dengan mengungkap: “Memancing ikan dengan tanpa membuat kolam keruh”; atau “jadilah ikan tawar, meskipun di taruh di lautan akan tetap tawar,” dan kata-kata yang terakhir ini berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Di antara kebutuhan-kebutuhan dalam dinamisasi tradisi dan kebudayaan masyarakat kita, menurut Gus Dur adalah mendesentralisasi pengembangan sebuah pola kehidupan yang diseragamkan atau sentralisasi, yang sebenarnya disebutnya sebagai “tidak berbudaya”. Yang dibutuhkan kemudian adalah: dijamin hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi tradisi dan budaya dalam arti seluas-luasnya; penyediaan peluang menampilkan ekspresi budaya haruslah dikaitkan dengan kebutuhan dasar akan pencarian jatidiri bangsa kita sendiri, dan ini bisa menyangkut ekonmi, sosial, pendidikan, dan politik; dan perlunya ditekankan pengembangan kreativitas budaya yang mengacu pada peningkatan rasa kebersamaan kita sebagai bangsa dan persamaan kedudukan warga masyarakat di muka UU. Tiga hal ini akan membuat peranan masyarakat kuat.
 ***
 Karena kebudayaan diandaikan sebagai bagian dari kreativitas manusia atau masyarakat, maka dalam level tertentu dia dipertentangkan dengan agama, meskipun hal seperti ini tidak tepat secara keseluruhan. Oleh karena itu, terjadi dan sering ada ketegangan antara tradisi dan kebudayaan masyarakat dengan agama, apalagi dengan modernisasi, dan ini tidak perlu disesali atau ditangisi. Menyikapi ini, Gus Dur mengatakan: “Bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan adalah mencari jalan tengah. Ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena itu justru memungkinkan bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.”
Bagi umat Islam, Gus Dur menyebutkan ada dua dilema: adanya keinginan menerapkan semata ketentuan-ketentuan tekstual, karena menganggap kebudayaan sebagai kreasi manusia dan agama sebagai wahyu Allah; dan ada juga keinginan sebagian umat “untuk tidak menerapkan sumber tekstual secara harfiah, melainkan dengan perlu mencari cara menyesuaikan sumber-sumber tekstual itu dengan kenyataan yang ada. Mengikuti pola kedua ini, kata Gus Dur tidak mesti harus seluruh “hukum agama dijadikan hukum nasional in toto, tetapi hanya partikel-partikel yang dapat diterima semua phak  yang diundangkan oleh negara”.
Untuk menyebutkan dan menaggambarkan secara konkret perlunya dinamisasi dalam tradisi hubungannya dengan agama Islam, di antaranya Gus Dur menawarkan strategi yang secara orisinil, disebut dengan pribumisasi Islam, yaitu “mempertimbangkan kebutahan-kebutahan lokal dalam merumuskan ketentuan dan hukum agama, yang ini berarti dimungkinkan adanya perubahan pada partikel-partikel, tetapi tidak pada aliran besarnya.”
Aliran besarnya ini adalah termasuk nilai-nilai dasar, yang sering dirujuk Gus Dur sebagai ahkâm al-khamsah: memelihara keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum;  keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; keselamatan keluarga dan keturunan; keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum; dan menyelamatkan hak milik dan profesi.
Dengan demikian, menurut Gus Dur wahyu dipahami bukan hanya normanya saja, tetapi juga harus memperhatikan kesadaran hukum dan rasa keadilannya; dan tidak dimaksudkan meninggalkan norma untuk  diganti dengan budaya, tidak. Yang terpenting  kata Gus Dur adalah “menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang sudah disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan ushûl fiqh dan al-qawâ`id al-fiqhiyah.
Contoh ringannya, Gus Dur menyebutkan al-Qur’an tetap dengan bahasa Arab dan ini tidak bisa diganggu, tetapi terjemahan dibutuhkan agar orang bisa memahaminya. Secara praktik, khususnya di Indonesia, setiap agama, termasuk Islam, juga harus mempertimbangkan Pancasila, dan ini mutlak diperlukan kalau kita ingin hidup mengarungi secara bersama sebuah bangsa bernama Indonesia. Pancasila aladah lokalitas dan tradisi yang telah disepakati, berhadapan di satu dengan agama-agama.
Dalam pranata sosial masyarakat Islam, dinamisasi harus memberikan ruang pada dua hal: pertama, regenerasi yang memungkinkan sistem sosial masyarakat Islam mengakomodasi kalangan muda; kedua, perlu sebuah rekonstruksi dengan menyediakan bahan-bahan yang memadai untuk menjadi referensi pembacaan terhadap situasi, posisi, dan proyeksi ke depan bagi kelangsungan masyarakat. Dengan demikian, jelas diperlukan bahan-bahan bacaan yang luas. Bacaan-bacaan ini dipergunakan untuk menggerus syarat penting dinamisasi, yaitu sikap yang terbuka yang menurut Gus Dur: “Keterbuakaan telah membuat kaum muslim selama sekian abad, menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu atau yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia)…” Hanya saja, keterbukaan yang membabi buta adalah westernisasi, dan ini ditolak sama sekali oleh Gus Dur.
Agar keterbukaan tidak semata-mata emoh ekslusifisme, tetapi juga menjadi kerja-kerja dinamisasi yang bermanfaat, dia harus menyediakan ruang pada tiga hal mendasar: pertama, harus didasarkan pada kreativitas yang berkembang terus menerus, sebagai implementasi dari posisi manusia sebagai khalîfah fi al-ardh; kedua, pengembangan kreativitas memerlukan pengembangan dan perbedaan dalam masyarakat dihormati, dan bahkan pendapat yang paling kurang ajar pun harus dilindungi, karena hanya dengan itulah pendapat yang dianggap paling benar akan bisa muncul; dan ketiga, pengembangan tradisi dan budaya harus  diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat manusiawi semua warganya, dan kemanusiaan inilah yang perlu digunakan untuk mengukur kegunaan sebuah bentuk budaya, termasuk di dalamnya adalah menjadikan masalah-masalah riil masyarakat sebagai bagian dari masalah kerja-kerja keislaman. Bahkan Gus Dur juga menghendaki: “Walaupun atas nama agama (termasuk Islam), setiap kegiatan yang menyebabkan kegiatan kemanusaan mengalami kemunduran, haruslah dihilangkan.”
Di bagian lain Gus Dur menyebutkan strategi pengungkapan dinamisasi, selain  dengan kata pribumisasi Islam, juga dengan strategi pembungkusannya secara canggih lewat simbol-simbol yang berkembang dalam tradisi. Gus Dur mencontohkan dua hal penting sebagai ilustrasi: pertama, untuk mendinamiskan pendidikan  di Tebuireng, KH. Abdul Wahid Hasyim  membungkus dengan istilah nizhâmiyah, dengan mengakomodasi ilmu berhitung dan sejarah yang sebelumnya tidak ada; dan KH. Mahfudz Shidid menggunakan istilah mabâdi khaira ummah untuk melakukan perubahan-perubahan membangun ekonomi masyarakat pedesaan. Istilah-istilah itu dikenal dalam masyarakat pesantren.
Dengan penggunaan simbol-simbol yang sudah ada dalam tradisi, tetapi kemudian diberi makna dan sentuhan orientasi yang lebih tajam dan proyeksi ke depan, maka simbol itu: di satu sisi bisa diisi dengan agenda dinamisasi yang berarti juga modernisasi secara positif; dan di sisi lain mengurangi efek resistensi dalam masyarakat tradisi itu sendiri. Oleh karena itu, Gus Dur mengkritik juga sebagian anak muda yang mengungkapkan pemikirannya dengan tidak memakai strategi “pembungkusan secara canggih”. Gus Dur mengatakan demikian: “Secara substansi apa yang Anda lakukan sudah betul, tetapi gaya yang Anda lakukan itu menggunakan gaya pembaharuan. Jadi akhirnya ditolak kiai sepuh. Jadi, di sini perlunya kemasan atau bungkus…” tetapi ini harus dibedakan dengan “pemimpin yang hanya getol memupuk citra, tetapi tanpa isi atau isinya tidak mendalam.” Yang dikemukakan Gus Dur adalah justru kualitas isinya harus diperberat dan mendalam, hanya pengungkapannya bisa dengan menggunakan simbol yang sudah ada. [nur khalik ridwan]
*)   Sebagai bahan diskusi  di Griya Gusdurian, 27 April 2012.

Gus Dur dan Pengosongan Diri

Gus Dur mengutip Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu (tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya)” (Ibnu Atha`illah as-Sakandari, al-Hikâm, hikmah No. 11).

Gus Dur sering mengutip perkataan emas itu dari mahaguru tarekat Syadziliyah, Ibnu Atha`illah as-Sakandari. Gus Dur sering mengutipnya, di antaranya dalam wawancara dengan Radio 68 H Jakarta/acara Kongkow Bareng Gus Dur. Saya juga menemukan pengakuan dari KH. Husein Muhammad dalam tulisan Matahari Telah Pulang: Merenungkan Sufisme Gus Dur (dalam Gus Dur Bertahta di Sanubari, hlm. 175), tentang untaian emas itu sering dikemukakan Gus Dur. Saya juga mendengar dari penuturan anaknya, Inayah Wahid di dalam acara “Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur” di Jakarta tanggal 16-17 November 2011, bahwa Gus Dur juga sering mengungkapkan kata-kata itu.
Ibnu Atha`illah as-Sakandari nama lengkapnya biasa dipanggil dengan terhormat, Tajuddin  wa Tarjuman al-`Arifin Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin `Abdul Karim  bin `Abdur Rahman  bin `Abdullah bin Ahmad bin `Isa bin al-Husain bin `Atha`illah al-Judzami al-Maliki as-Sakandari ash-Shufi. Dia oleh Ibnu Farhun dalam ad-Dîbâj disebut sebagai:  “Seorang imam yang menjadi juru bicara tarekat Sadziliyah”. Di antara beberapa karangannya adalah: at-Tanwîr fî Isqât at-Tadbîr, Lathâ’if al-Minân fî Manâqib asy-Syaikh Abû al-`Abbâs wa Syaikhihi Abî al-Hasan, Miftâh al-Falâh, Tâj al-`Arûs dan al-Hikâm.
Ibnu `Atha`illah ini adalah orang yang dianggap berjasa teradap tarekat Syadziliah, karena dialah murid Abul Abbas al-Mursy (murid Syaikh Abu Hasan as-Sadzili), yang kemudian menyusun dan mensistematisasikan doktrin-doktrin dan wirid-wirid Sadziliyah. Dia meninggal tahun 709 H. dan dimakamkan di Kairo, tepatnya di Qarafiyah. Makamnya menjadi tempat para peziarah yang besar sampai saat ini.
Gus Dur mengutip kata-kata Ibnu Atha`illah itu, dan berkomentar ketika membicarakan soal doa dan keterkabulannya tergantung keikhlasan dan terserah Tuhan: “Maksudnya, kita harus benar-benar kosong supaya tidak punya keinginan apa-apa. Susahnya, orang berdoa itu kan banyak pengen-nya. Makanya kalau kita berdoa, jangan minta apa-apa, terserah Tuhan saja. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan.” Di sini, Gus Dur memaknai “tanamlah…” dengan “kita harus benar-benar kosong, supaya tidak punya keinginan apa-apa,” dalam menempuh suluk.
Syaikh Hayat as-Sindi al-Hanafi dalam Syarah al-Hikam al-`Atha’iyah (hlm. 12) menyebutkan maksud dari perkataan itu. Kata “tanamlah” maksudnya “wahai para pencari, perbaikilah jalan-jalanmu”. Perkataan “wujudmu di tanah yang tidak dikenal” maksudnya “jadikanlah dirimu seakan-akan tidak membutuhkan sesuatu… dan putuskanlah kekuasaan syahwatmu untuk terkenal dengan pisau yang mematikan…” Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan  “tidak sempurna buahnya” adalah “tidak diharapkan hasilnya, karena akan merusakkan sebelum berbuah”.
Kata-kata emas mahaguru tarekat Sadziliyah ini, sangat dalam, indah, dan menggetarkan. “Tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal”, ibarat yang digunakan bagi seorang yang sedang mencari, seorang penempuh jalan tarekat, agar menanamkan jiwanya, memulai lakunya, dan meniatkan dirinya secara dalam. Seorang penempuh (sâlik), sebaiknya menanamkan dirinya dalam tanah yang rendah, karena dengan begitu akarnya akan kokoh. “Menanam wujud dirinya” ini bukan bermakna leterlek, menanam tubuh ke dalam tanah: tidak demikian. “Menanam diri” di sini adalah memulai laku dengan mengosongkan diri untuk tidak membutuhkan sesuatu kecuali Allah, dan ini akan membuahkan keikhlasan. “Tanah yang rendah” adalah ibarat untuk menunjukkan agar sang penempuh tidak terburu-buru terbius mencari ketenaran, kemasyhuran, kesaktian, dan sejenisnya. “Tanah yang rendah” adalah keadaan diri agar konsentrasi dalam melakukan suluk, dengan tidak usah berkeinginan mencari ketenaran dan sejenisnya.
Keinginan untuk tenar dan kemasyhuran, hanya akan membuahkan ketidaksempurnaan sebuah suluk. Alih-alih akan bisa berhasil dalam melanjutkan suluk-nya, sang penempuh justru akan mendapatkan kerusakan, jauh sebelum tujuannya tercapai. Ketenaran dan kemasyhuran, bukanlah awal, bukan tujuan, dan bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan kesempuranaan suluk. Keinginan tenar dan kemasyhuran hanya akan menjadikan diri sombong, dan mudah patah, yaitu sesuatu yang karena memang tidak ditanam dengan akar-akar yang kokoh, sedikit saja diterpa angin akan terhempas. Berbeda dengan gunung, meskipun tinggi, tetapi karena tertanam secara kokoh dia tidak akan terhempas. Demikian juga gunung, meski menjulang dan tegak, dia tidaklah diam, tetapi terus bergemuruh dan bergerak. Begitu juga seorang sâlik, menanam jiwa dalam kekosongan dari keinginan kebendaan, seperti ketenaran dan kemasyhuran, bukan berarti diam dan tidak bergerak. “Menanam jiwa dalam tanah yang tidak dikenal” berarti aktivitas dinamis yang penuh disiplin dalam menggembleng diri, melakukan penyucian dan pendalaman diri, penghayatan, dan penyingkapan diri yang tidak kenal lelah.
Begitulah, pengosongan diri akan membuahkah keikhlasan dan akan bisa menjangkau esensi Cahaya Allah, penyatuan perilaku dan sikap-sikap sâlik dengan semaksimal mungkin bisa sesuai dengan energi-energi ilahiyah. Kekosongan diri adalah hilangnya definisi-definsi, atribut, dan pengetahuan terserap dalam kelemahan di hadapan kesadaran terdalam tentang kedigdayaan, kebesaran, dan keperkasaan Tuhan. Dari keterserapan ini menimbulkan kehidupan baru seorang penempuh, tergerusnya pengetahuan ke dalam kefana’ana-kefana’an, mempertanyakan tentang diri, mencari asal dirinya kepada yang ilahi. Pengosongan diri akan berputar-putar menggerus jiwanya sampai hilangnya keinginan-keinginan kebendaan, dan hanya ada satu keinginan menemukan asal dirinya dengan cara menjumpai cahaya-Nya.
Setelah keterserapan dan hilangnya keinginan-keinginan akan muncul kerinduan rohani: awalnya kecil, terus membesar, dan begitu seterusnya sangat membesar. Ketika seorang mengalami kekosongan, yanga ada adalah kehampaan yang digerakkan oleh energi ilahiyah. Seseorang bisa terjatuh karenanya; bisa duduk  berjam-jam, terheran-heran; bisa berjalan terus menerus; bisa saja tubuh terkulai lemas tetapi jiwa bergemuruh hebat, mendodor-dodor; dan lain-lain. Jalaluddin Rumi, seorang yang dianggap sebagai seorang yang mencapai Qutbul Ghauts di zamannya, pernah terjatuh lunglai, dan tidak sadarakan diri ketika ia mengalami kekosongan diri.
Ceritanya, guru pembimbing Rumi yang bernama Syams Tabriz menemuinya. Saat itu Rumi sedang bersama murid-muridnya di universitas di mana dia mengajar teologi di sebuah kelas. Sesosok yang tampak compang camping mengikuti Rumi dan mengikuti di ruang kelas. Dialah Syams Tabriz, yang kelak menjadi guru ruhaninya, dan bertanya kepada Rumi: “Siapa yang lebih besar, Abu Yazid atau Nabi Muhammad?”
Rumi yang melihat pandangan Tabriz menembus jiwanya, kemudian menjawab: “Nabi Muhammad yang lebih besar.” Tabriz kemudian berkata: “Tidakkah Rasulullah berkata: “Kami tidak mengetahui Engkau sehingga Engkau ingin sekali diketahui?” Sementara Abu Yazid berkata: “Betapa besar maqam-ku, kemuliaan tercurah padaku yang agung, yang kedigdayaannya terangkat.”
Tabriz melihat Rumi tidak sanggup menjawab. Tabriz lalu menjelaskan: “Dahaga Abu Yazid terhadap Tuhan telah dipuaskan setelah minum seteguk, tetapi dahaga Nabi tidak pernah terpuaskan, karena dia selalu haus akan air pengetahuan Allah lebih banyak lagi.”
Menemukan dirinya tidak berdaya di hadapan Tabriz, Rumi mengalami kekosongan mencekam dan terjatuh di lantai: menangis hingga hilang kesadarannya, tepat di kaki Tabriz. Ketika Rumi sadar, kepalanya sudah ada di pangkuan Tabriz. Setelah itu kedua orang guru murid itu, akhirnya pergi selama 3 bulan dalam pengasingan. Begitulah, Rumi pun bisa terjatuh dan lunglai tatkala mengalami kekosongan diri, dan sebabnya, setiap orang bisa berbeda-beda. Yang menyamakan hanya satu: ditemukannya keterbatasan pengetahuan nalar dan logika manusia, dan adanya energi ilahi yang menyergapnya yang menghunjam perlunya pengetahuan lain, pengetahuan yang berasal dari cahaya-Nya secara langsung. Munculnya kekosongan diri adalah anugrah.
Orang yang melihat mereka yang sedang mengalami kekosongan diri, akan menemukan perubahan-perubahan dari keberadaan sebeluamnya. Dan ini tidak perlu dipikirkan oleh seorang sâlik, kecuali dengan teguh menyandarkan dirinya kepada Allah: semuanya akan bisa menjadi baik, dengan sabar, teguh, dan disiplin. Pada kondisi ini, biasanya seorang sâlik juga teringat, menimbang-nimbang laku yang bisa dipertahankan dan diingat dari waktu kecil sampai ia mengalami kekosongan diri: memperoleh anugrah pengosongan diri. Ada yang menyebutkan laku “bersikap jujur” (Gus Dur sering sekali menekankan arti penting jujur ini dalam menjalani hidup); ada laku selalu “mendahulukan orang lain” (Gus Dur juga sering melakukan ini); dan ada juga yang selalu merasa berdosa bila melakukan maksiat, sebelum akhirnya ia benar-benar bertaubat; dan lain-lain.
Kerinduan rohani menjadikan sang penempuh mencari seorang guru/mursyid, bagi mereka yang tidak memiliki keberanian dan tidak mendapatkan bimbingan rohani dari para guru besar secara rohani; atau dia akan didatangi oleh guru rohani lewat mimpi dan isyarat-isyarat, lalu melakukan disiplin diri sehingga sang sâlik harus bisa mengatasi rasa takut dan godaan-godaan, yaitu mengusai dirinya. Ibnu `Arabi dalam Risâlah al-Anwâr menyebutkan demikian: “Demi Allah, janganlah memasuki penyendirian kecuali jika Anda tahu maqam Anda, dan ketahuilah kekuatan Anda kaitannya dengan imajinasi. Sebab jika imajinasi Anda menguasai Anda, maka tidak ada jalan menuju penyendirian, kecuali melalui bimbingan Syaikh yang cerdas dan insaf. Jika imajinasi Anda terkendali, maka masukilah penyendirian dengan tanpa rasa takut” (hlm. 55.).
Dari kekosongan diri, sang sâlik akan dan kemudian berada dalam hidup baru, yang diikuti dengan disiplin diri ber-suluk. Di sini, pengosongan diri bisa dimaknai sebagai adanya pemisahan hidup lama dan memulai hidup baru setelah adanya keterserapan ke dalam energi ilahi yang menggetarkan jiwanya dan mengantarkannya kepada pencarian akan cahaya-Nya. Keterserapan ini adalah permualaan sebelum adanya fana’ dan sebelum melakukan dispilin dari maqam ke maqam berikutnya. Keterserapan setelah melakukan disiplin diri dan setelah fana’ adalah penyingkapan, dan ini berbeda dengan kekosongan diri yang pertama. Meski begitu, ada juga seorang yang diberkati Allah mengalami keterserapan energi ilahi sebelum melakukan disiplin dari maqam ke maqam, dan Ibnu Arabi adalah salah seorang yang diberi anugrah itu.
Banyak jalan menuju pengosongan diri, sebanyak Allah menunjukkan seorang penempuh untuk mengalaminya. Kalau seseorang masih menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku-buku, menulis, dan logika  sebagai pengetahuan sejati dan menyeluruh, mampu menyelesaikan persoalan dengan menihilkan “Yang Ghaib dari yang Terghaib”, maka dia belum akan menemukan kekosongan diri. Kalau seseorang masih melakukan eksperimen-aksperimen logis, dan kemudian menemukan keajaiban hasil-hasilnya, dan menganggap semua itu sebagai keagungan akal dan keabadiannya tanpa ada kesadaran campur tangan Tuhan, kekosongan diri tidak akan muncul. Kalau seseorang masih menuruti semua keinginan kebendaan sehingga tidak ada waktu untuk menemukan sesuatu yang berharga untuk mempertanyakan asal rohaninya, di situ kekosongan diri tidak akan muncul. Demikian juga, kalau seseorang menganggap masih kuat, dan tidak menyadari ada batas kelemahannya, tentu belum akan bisa menemukan kekosongan diri.
Sebaliknya pengosongan diri bisa ditemukan dan dimulai, kalau seseorang bisa menemukan pengalaman-pengalaman yang menggugah rohani dan membuatnya berpikir bahwa manusia ada batasnya; buku-buku, logika, dan tulisan ada batasnya; ilmu-ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan sejenisnya ternyata terbatas, seperti yang ada di Indonesia, tidak bisa bekerja menyelesaikan masalah-masalah riil kebangsaan kita; dan tidak sedikit mereka yang mengalami sakit tertentu, dan kemudian bisa sabar sampai memperoleh penyelamatan dari Sang Suwung (Allah) lalu timbul kesadaran adanya kedigdayaan Allah. Dari kelemahan dan keterbatasan itu, kemudian  muncul perenungan mendalam: adakah semua bisa diselesaikan manusia? Adakah semua keinginan manusia bisa dilaksanakan sedetil mungkin dan sesempurna mungkin, bahkan terhadap mereka yang kaya raya sekalipun? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang mempertanyakan asal rohaninya. Dari sudut ini, kekosongan diri adalah anugrah, setelah terjadinya kecamuk dalam perjalanan hidupnya; setelah terjadi panas dan hujan silih berganti menempa hidupnya; dan begitu seterusnya.
Seorang kawan mengabarkan, sangat bersyukur bahwa selama ini, dia melakukan perlawanan dan menentang Tuhan, dan pada umur 30-an tahun setelah mengalami masa pancaroba, gempa, musim gugur, dan segala cuaca diri akhirnya dianugrahi diri yang ingat dan lari kepada-Nya. Andai sampai mati tidak juga mengalami itu, sungguh, dia merasa hidupnya merugi, karena yang dia tahu hanya pengetahuan berdasarkan nalar dan logika yang spekulatif, dan tidak menambah tenang hidupnya. Penyingkapan-penyingkapan yang dialaminya kemudian, menambahkan kokohnya iman dan tauhidnya kepada Tuhan. Di sini ada situasi di mana masa pancaroba diri dan berbagai jenis cobaan, telah dilalui, anugrah kekosongan diri sungguh menghunjam dan menyentuh rohaninya.
Sebelum seseorang mengalami pengosongan diri yang hebat sebaiknya tidak usah terburu-buru ingin menempuh dunia suluk. Kalau ini ditempuh, tentu seseorang hanya akan berhenti untuk mencari kemasyhuran, ketenaran, kesaktian, kekayaan,  dan atribut-atribut kebendaan, sudah pasti akan tertipu, gagal, dan tujuannya akan rusak. Ketika sudah terkenal, sementara akar-akarnya tidak kokoh, seseorang akan menemukan ketenarannya, tetapi ketenarannya itu tidak akan abadi, semu semata, dan setelah itu akan menemukan kekecewaan, yang sebenarnya adalah kegagalan dalam ber-suluk, karena ketenarannya itu akan menghacurkan sang sâlik sendiri.
Hal ini berbeda, bila seseorang menanam dirinya di tanah yang rendah sehingga akar-akar jiwanya sangat kokoh. Kalau kemudian orang ini terkenal dan masyhur, maka dia tidak lekang oleh waktu, tidak takut oleh cercaan, akan terus berjuang meskipun  terus mengalami rintangan, dan akan tetap tegar, meskipun tentu saja kadang rasa takut menghinggapi dan menyelinap menggodanya. Begitulah, karena Gus Dur telah melewati fase pengosongan diri, maka sang guru telah menanam dirinya dengan akar yang kokoh, dan dengan begitu meskipun situasi sosial, politik, ekonomi, dan komunitasnya berguncang-guncang dan mendodornya, sang guru tetap tegar. Ibarat gunung, meski menjulang tetapi akarnya kokoh karena terpatri ke dalam bumi; dan energi bumi yang adalah bagian dari cahaya-Nya telah menyerap sang guru.
Sementara kebanyakan orang mengalami pengosongan diri menjelang ajal, ketika sang penjemput maut akan tiba. Dan, bahkan yang lain tidak meneruskan setelah ada gejala-gejala pengosongan diri, karena kemudian masih disibukkan oleh keinginan-keinginan kebendaan. Begitulah yang namanya manusia: sebuah eksistensi yang lemah, tetapi mengaku kuat dan sombong; dan terutama karena gengsi status sosial, kekayaaan, dan sejenisnya, dia malu mengakui bahwa sebenarnya dia sangat lemah. Tetapi Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk tetap percaya atau tidak, faman syâ’a falyu’min faman syâ’a falyakfur.
Pengosongan diri ini, sebuah syarat penting untuk mencapai dua hal: menjangkau alam esensi dari yang al-Haqq; dan untuk mendapatkan akses ke sifat-sifat ilahi yang hanya bisa dicapai dengan mencapai fanâ’ (keterleburan) terlebih dulu. Dengan pengosongan diri itu, dimulai tapak demi tapak dan daki mendaki dalam berbagai maqâmât atau laku spiritual. Di sini, pengosongan diri sebagai syarat munculnya gemuruh jiwa yang kemudian membajakan tekadnya melakukan penyucian diri lahir dan batin untuk menjangkau esensi ilahi, lagi-lagi, harus dibedakan dengan keterserapan dan lebur ke dalam cahaya ilahi  setelah mengalami fanâ’. Yang terakhir ini, terjadi setelah berbagai maqâmât dilakukan; dan pengosongan diri yang pertama adalah menanam jiwa dalam tanah yang rendah, permulaan menjelang pendakian maqâmât, yaitu melepaskan keinginan-keinginan kebendaan, sehingga rongga batin sang sâlik memiliki pondasi dan akar-akar yang kokoh.
Oleh karena itu, sebaik-baik dalam pengosongan diri, sebagai permulaan seseorang perlu menyadari adanya Sang Suwung, Sang Ada yang tidak terjangkau, dan tidak bisa didekati dengan indra-indra biologis, dan kemudian kondisinya terserap ke dalam kehampaan, kekosongan, dan kesuwungan. Setelah itu seseorang perlu menyandarkan disiplin ber-suluk kepada-Nya dan dia akan memiliki fondasi fondasi yang kokoh, dan akan mencapai hasil yang mencerahkan. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah selain berkata dalam kalimat-kalimat yang dikutip di awal tulisan ini yang sering dikemukakan Gus Dur,  dia juga mengemukakan: “Sesungguhnya  bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan nihâyah (puncak akhirnya). Dan siapa yang bidâyah-nya selalu bersandar kepada Allah, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya.” (Kearifan No. 276, dalam al-Hikâm).
Tentang permulaan, sudah jelas, perlu adanya pengosongan diri sehingga keberangkatan menjadi terserap untuk menjangkau esensi ilahi, karena tidak dibelenggu oleh keinginan-keinginan kebendaan, kemasyuhuran, dan ketenaran, yang justru akan menjadi hijâb dan penglulu. Sementara “orang yang sampai” adalah mereka yang telah menyaksikan kebenaran ilahi, atau menyaksikan manifestasi cahaya yang memancar dari Sang Maha Indah yang disaksikan melewati tahap demi tahap, sampai mengalami tauhîd biwujûd al-Haqq. Begitulah, kalau penyandaran kepada-Nya dilakukan dalam permulan dan dalam semua tahapan laku suluk-nya, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya.