"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Sabtu, 22 September 2018

Tasawuf Tanpa Thariqah sama dengan Nol

Sebagian orang sering tumpang-tindih dalam memahami tasawuf dan tarekat (thariqah). Kadang, keduanya juga dianggap berdiri sendiri dan terpisah. KH Luqman Hakim yang dikenal sebagai pakar sekaligus pelaku thariqah membeberkan mengenai tasawuf, thariqah, mursyid, mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh, dan beberapa hal mengenai thariqah.
<>
Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama KH Luqman Hakim beberapa waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.

Bagimana kaitan antara tasawuf dan thariqah?

Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertoriqoh, tapi tak bertasawuf, juga nol.

Penjelasannya bagaimana?

Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat begini, untuk masuk ke dalam Masjidil Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia ingin manjat. Masjidil Haram masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya. Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu. Bumbunya sudah lengkap. Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia butuh seorang pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia ngawur, wah, saya punya bumbu lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek semua di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran. Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting dia, nah, itu syetan masuk.

Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?

Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak. Dia nggak tahu porsi maknnya seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau orang tidak punya tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia. Padahal yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun itu milik anda semua. Masak anda makan semua? Kalau nggak ada ilmunya, bisa-bisa begitu, kan.

Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis sudah dibimbing?

Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing bertasawuf. Diajarin ngaji, ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya begitu.

Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman). Nah, di Jatman terdiri dari berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh. Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh

Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini bener-bener diakui, oh ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal semua, ya nggak mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohih, daif, hasan dan seterusnya.

Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?

Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih, ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.

Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu? 

NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya ada yang tidak sampai Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut sebagai toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada amaliyahnya. Amaliyahnya itu memang dari Rasulullah.

Diajarkan langsung?

Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada para sahabat itu ada yang satu per satu dipanggil. Ada yang lima orang dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing itu, mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi banyak.

Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh masa Nabi?

Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya ini sama dengan Syekh Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya, misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya, adalah orang Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang melalui Abu Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman pun ada. Ada yang Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena masing-masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu menurut kemampuan indiviidual, spiritual masing-masing yang berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha Illallah. Ini solawatnya begini. Solawatnya kadang berbeda-beda

Berarti kalau  begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak para sahabat?

Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid, calon murid ini bentuknya gelas, apa piring, apa coet. Oh, kalau piring, nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi sambel.

Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?

Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda. Seorang mursyid harus tahu.

Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?

Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida. Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan menemukan waliyyan mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum tentu mursyid. Banyak mursyid, belum tentu wali.

Bagaimana penjelasannya?

Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitas waliyyan mursyida.

Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?

Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk ngajarin thariqah. Tapi posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi ada yang mengaku mursyid, begitu.

Kayak khalifah, begitu, ya?

Iya. Khalifah ya khalifah.

Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil? 

Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.

Ada kamil. Ada mukammil?

Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia sendiri kepada Allah dan diberi opsional, yang memang dari Allah juga untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah, jiwanya. Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.

Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?

Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari ke tarekat, dalam kondisi ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang utuh. Jadi, begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam Isra’ Mi’raj. Nabi, ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu, kelihatannya ekslusif, nih. Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak tampilnya eksklusif. Ini belum selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai. Proses.

Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya? 

Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil alamin.

Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?

Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.

Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah, kemudian, tiba-tiba bisa ketemu seorang mursyid itu karena apa? 

Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam. Faktor itu nggak bisa kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu. Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang yang, begini, ibarat berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa tiba-tiba-tabrakan di jalan. Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.

Itu udah petunjuk Tuhan?

Ya.  Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu biasanya ditaqdirkan berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.

Bapak sendiri pengamal thariqah juga?

Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.

Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?

Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi nakhodanya satu. Kalau oh ini ada kapal, kapal, nakhodanya sendiri-sendiri, nggak bisa. Naik sebelah mana? Atau satu nih, nakhodanya banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada ulama, kiai, macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya harus satu.

Kenapa?

Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil, bengkel sana yang bagus, bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini kemana, ini harus ada satu tujuan.

Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama?  Menghadap Gusti Allah?

Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah, sebenarnya.

Mursyidnya siapa, Pak?

Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.

Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi? 

Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.

Ibnu ‘Athoillah?

Ya.

Kenapa?

Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal sekali, disederhanakan beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan Allah. Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti yang di al-Hikam itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-Qusyairi itu kitab utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga kagum sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang baru ditemukan oleh cucunya itu. Kitab tafsir yang terbaik di dunia, sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.

Apa nama tafsirnya, Pak?

Tafsir al-Jilani.

Kok bisa baru ditemukan, Pak?

Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan terbagus, terlengkap di Vatican.

Berceceran begitu, ya?

Iya.

Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh. Itu sudah menyunda sekali. Orang sudah nggak paham, bahwa dulunya ini kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?

Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah. Dia hanya memetik salah satu buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun, bunga, dan buah. Salah satu buah saja.

Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?

Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK  sampai perguruan tinggi Islam.

Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?

Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu isinya, iman, islam dan taqwa. Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana. Sebenarnya yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus lebih diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu terus-menerus dengan Allah. Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu mengajari anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau saya nggak. Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah kedengarannya awoh, awoh, awoh. Allah.

Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah itu dimungkinkan karena tasawuf itu tidak terukur? Atau memang bagaimana?

Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu tasawuf itu muncul baru di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik abadku, khoiru quruni, qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam masih utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi bergerak untuk mensistematisir, menulis buku tasawuf, ini, dan seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh.

Tarekat dan Sejarah Perkembangannya

a.    Pengertian Tarekat

Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya adalah;


Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah)

maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.

Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.

Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut.

Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah.

Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat- syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.


Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.

Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.


b.    Sejarah Perkembangan Tarekat


Banyak orang yang salah faham tentang tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.
Asal-usul Tarekat Sufi

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).

Kehidupan para sufis  abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut.
Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia Islam.


Arti Tariqa /Tarekat


Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar’ (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Kanqah dan Zawiyah

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).

Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.

Sejarah Perkembangan TarekatMenjadi Pengawal MoralBanyak orang yang salah faham tentang tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.

Asal-usul Tarekat Sufi  Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati). Kehidupan para sufis  abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut. Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia Islam.

Arti Tariqa /TarekatKata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar’ (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi. Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Kanqah dan ZawiyahBiasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.

c.    Hubungan Tarekat dengan Tasawuf


Pengertian Taswwuf dan Tarekat, serta Hubungan Antara Keduanya


Secara ethimologi, tasawwuf berasal dari bahasa Arab yaitu katashuuf yang berarti bulu. Pada waktu itu para ahli tasawwuf memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang merendahkan diri. Sedangkan secara terminology, para sufi dalam mendefinisikan tasawwuf itu sendiri sesuai dengan pengalaman batin yang telah mereka rasakan masing-masing. Dan karena dominannya ungkapan batin ini, maka menjadi beragamnya definisi yang ada. Sehingga sulit mengemukakan definisi yang menyeluruh. Dari beberapa definisi para sufi, Noer Iskandar mendefinisikan bahwa tasawwuf adalah kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.

Sedangkan tarekat sendiri, secara ethimologi berasal dari kata “Thoriqoh” yang berarti jalan. Dalam artian jalan yang mengacu kepada suatu system latihan meditasi maupun amalan- amalan yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas, atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.

Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tasawwuf adalah sebuah ideology dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.

Bertarekat Itu Mengasyikan

Dewasa ini perkembangan tarekat-tarekat sufi di negara-negara dunia mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Meski di sisi lain, acap kali praktik-praktik tarekat sufi sering mendapat kritikan pedas bahkan ada anggapan bernada miring oleh sebagian umat muslim.
Tudingan-tudingan miring ini disebabkan ketidaktahuan mereka tentang prakik-praktik tarekat sufi.
Karena mereka mendapatkan informasi dari hanya membaca tulisan-tulisan pemikir atau membaca buku-buku saja tanpa terjun langsung dalam praktik tarekat.
Tuduhan tersebut tegas ditolak oleh Azyumardi Azra (1999), yang menyatakan bahwa justru tokoh-tokoh sufilah yang menuntun umat menjadi lebih progresif di dalam berbagai hal kebaikan dan agresif dalam menolak segala kemungkaran dengan cara-cara yang lebih rahmat.
Dengan bertarekat, para salikin akan dituntut oleh mursyidnya untuk beribadah kepada Allah SWT dengan benar.
Baik secara syariat, tarekat, dan hakikat.Karena tidak ada satupun syaikh tarekat yang menyuruh muridnya untuk meninggalkan syariat dan mengamalkan hakikat saja.
Kalaupun ada, maka golongan ini dinamakan dengan mutashowsif atau pseudo sufi (sufi gadungan) karena ulama-ulama tasawuf sering mendengungkan ungkapan;
"Barang siapa berfikih tidak berhakikat, maka fasiq dan barangsiapa berhakikat tanpa berfikih, maka zindiq".
Pseudosufi adalah orang yang sudah masuk ke dalam dua syair di atas dan acapkali tuduhan miring tentang praktik-praktik sufi dan kepada orang-orang sufi muncul dari sini.
Di dalam tarekat terdapat Syaikh Mursyid (guru)/muqoddam, zikir dan salikin (penganut tarekat).
Jika guru diibaratkan dokter, zikir adalah obat, maka salikin adalah pasien-pasien yang sakit dan ingin disembuhkan penyakit-penyakit hati dan batinnya.
Dengan mengikuti bimbingan guru, diharapkan para salikin bisa menjadi muslim yang progresif, lebih peka terhadap masalah-masalah umat.
Di samping itu juga engaplikasian ibadah-ibadah syariat seperti shalat, puasa, zakat, haji lebih dimotivasi untuk lebih giat dan benar dibawah bimbingan sang guru atau mursyid/muqoddam.
Mursyid/muqoddam bukanlah sembarang guru. Ia adalah orang-orang yang memiliki dua ciri lahir, yaitu rahmatan dari Allah dan ilmu laduni.
Seperti disebutkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 65 menerangkan; "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS. al-Kahfi: 65).
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa bertarekat itu mengasyikkan (enjoy) sebagai sarana bagi seseorang yang berusaha untuk ingin lebih memantapkan dan menggiatkan di dalam ibadah syariatnya supaya benar, baik secara lahiriah (memenuhi syarat dan rukun-rukunnya) dan juga batiniah (tarekatnya beribadah untuk mencari ridla Allah SWT, hakekatnya hanya Allah lah semata yang menggerakkan kita), sehingga terjadi singkronisasi antara keduanya; lahir dan batin.
Jadi tidaklah benar tuduhan-tuduhan miring dari sebagian orang yang mengatakan bahwa praktik-praktik sufi tarekat itu adalah sesat, bid’ah dan kehidupan bersufi hanya membawa kemunduran agama dan kehidupan berbangsa.
Sebaliknya, bila kita melihat sejarah Syaikh Arsyad al-Banjari, ulama terkemuka Indonesia abad ke-18 M yang terjun langsung bersama Sultan Agung Tirtayasa Banten dalam memimpin peperangan melawan kolonial Belanda, sehingga ia ditangkap dan harus diasingkan ke Ceylon Srilangka. Kemudian, karena masih dianggap berbahaya beliau diasingkan ke Kapeton (Tanjung Harapan) Afrika Utara.
Demikian juga halnya Syaikh KH. Ahmad Rifai bin Muhammad Markhum, Pahlawan Nasional, adalah tokoh ulama kharismatik di Jawa abad ke-19 M yang telah berhasil menanamkan kebenaran di hati murid-muridnya tentang keharusan ingkar terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sehingga, ulama produktif ini (karena telah menulis lebih dari 62 judul kitab tentang Ushul, Fiqih, Tasawuf madzhab Syafii berbahasa Jawa dan Melayu) harus dipenjara kemudian diasingkan ke Batu Merah Ambon Maluku, terus dibuang sampai Kampung Jawa Tondano Minahasa bersama Kiai Modjo.
Bahkan Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asyari, Pahlawan Nasional dan juga sebagai ulama kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama ini adalah murid KH. Kholil Bangkalan Madura yang setia pada jalan tarekat.
Masih banyak lagi ulama tokoh sufi terkemuka di Indonesia yang ternyata adalah penganut tarekat atau bahkan Syaikh tarekat itu sendiri.


Senin, 08 Januari 2018

WAFAQ KHOTAMUN NUBUWWAH

Berkata Alamah Zurqani dalam kitab AlMawahidunyah syarah ‘ala Syamail, tertulis dalam segitiga itu, ” Allah Tunggal Ia, Tiada Sekutu BagiNya, Muhammad,HambaNya,RasulNya,” dan di luar segitiga itu pada arah kanan , “Hadaplah Hai Muhammad sekira-kira engkau mau (Hadaplah atau Pergilah ke mana engkau mau) dan di sebelah kirinya pula,“Sesungguhnya engkau Muhammad dibela atau dibantu,”

DENGAN NAMA ALLOH YANG MAHA PEMURAH LAGI PENYAYANG

Puji dan syukur Lillahi Akbar

Atas nikmatnya kecil dan besar

Sholawat akmal beserta salam

Di atas Datuk Kami Nabi pelita alam

Dan atas keluarganya Nabi

Fathimah, Hasan, Husein dan Ali

Dan turunannya Hasan dan Husein

Hingga kiamat beserta Qur’an,

TELAH SAMPAI BERITA KEPADA AL-FAQIR BAHAWA ADA SEORANG HAMBA ALLOH YG MENUDUH MEREKA YG BERAMAL DGN WAFAQ KHOTAMUNNBUWWAH SEBAGAI AMALAN SYIRIK DAN BID'AH PADAHAL DIA SENDIRI TIDAK MEMAHAMI APA ITU MAKNA SYIRIK...,MAKA DENGAN TAUFIQ INAYAH ALLOH DENGAN RENDAH DIRI AL-FAQIR BERUSAHA MEMBETULKAN KEADA'AN YANG SEBENAR,MOGA MANFA'AT UTK AL-FAQIR DAN SAHABAT-SAHABAT SEKELIAN...

DI ANTARA KELEBIHAN-KELEBIHAN NABI MUHAMMAD S.A.W

NABI S.A.W DICAP DENGAN CAP KHATAMUN NUBUWWAH HIKMATNYA MENENTUKANNYA MENENTUKAN BAHAWA NABI S.A.W ITU YANG MENYUDAHI SEGALA NABI-NABI DAN RASUL-RASUL DAN PULA CAP ITU DI BELAKANG DIHADAPKAN KERANA APABILA NABI ITU KELUAR DARIPADA RUMAHNYA SENTIASA CAP KHATAMUN NUBUWWAH INI KEPADA KITA AMAT BANYAK, SETENGAH DARIPADANYA SIAPA-SIAPA YANG MENJADIKAN CAP KHATAMUN NUBUWWAH INI SEBAGAI HIASAN DI RUMAH ADALAH AHLI RUMAH ITU DIPELIHARAKAN ALLAH DARIPADA KEBAKARAN DAN KECURIAN SEPERTI SABDA NABI S.A.W YANG DIRIWAYATKAN SAIDINA ALI DI DALAM KITAB MAHAMATANIAH SABDANYA BERMAKSUD “SIAPA-SIAPA YANG MENJADIAN IA AKAN LUKISAN KHATAMUN NUBUWWAH AKU (PERHIASAN BAGI RUMAH)DIPERLIHARAKAN OLEH ALLAH BAGINYA DARIPADA PENYAKIT TAUN DAN WABAK DAN TADA MATI OLEH AHLINYA MELAINKAN ATAS TIAP IMAN DAN MELUASKAN OLEH ALLAH DALAM KUBURNYA DAN MENERANGKAN DIA DAN DIMASUKKAN KE DALAM SYURGA DENGAN TIADA HISAB”.DAN DIRIWAYATKAN DARIPADA ANAS SABDA NABI S.A.W YANG BERMAKSUD “BERMULA RUMAH YANG ADA LUKISAN KHATAMUN NUBUWWAH AKU DI DALAMNYA MAKA SESUNGUNYA DIPELIHARAKAN OLEH ALLAH DARIPADA KEBAKARAN DAN KECURIAN DAN DARIPADA TIAP-TIAP SETERU, DAN TIADA DIMATIKAN MELAINKAN DIALIHNYA TEMPAT DUDUK DI DALAM SYURGA DAN MELUASKAN OLEH ALAH TAALA DI DALAM KUBURNYA DAN MENERANGKAN DIA.DAN KATA IMAM AT-TARMIZI SIAPA –SIAPA YANG MELIHAT KEPADA RUPA KHATAMUN NUBUWWAH NABI S.A.W PAGI-PAGI DIPERLIHARAKAN HINGGA KE PETANG DAN SIAPA –SIAPA YANG MELIHAT PETANG DIPERLIHARAKAN HINGGA KE PAGI DAN SIAPA-SIAPA YAN MELHAT WAKTU MUSAFIR DIPERLIHARAKAN DAN DIBERKATIKAN HINGGA IA KEMBALI.

*******

Dari as-Sa’ib bin Yazid r.a. dikemukakan:

“saudara ibuku membawa aku untuk menemui Nabi s.a.w., lantas ia berkata kepada Rasulullah s.a.w.: ,’ anak saudaraku ini sakit.’

Ketika itu, Rasulullah s.a.w. menyapu kepalaku (as-Sa’ib), mendoakan keb...erkahan untukku dan berwudhu. Air sisa wudhu’nya lalu kuminum. Setelah itu, aku berdiri di belakangnya; aku memandang kepada khatam (tanda) yang terletak di antara kedua bahunya. Ternyata, khatam itu sebesar telur burung dara.”

(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id dari Hatim bin Ismail, dari Ja’d bin ‘Abdurrahman yang bersumber dari Sa’ib bin Yazid r.a.)

*******

Ibrahim bin Muhammad pernah mendengar salah seorang putera ‘Ali bin Abi Thalib k.w. berkata:

“Apabila ‘Ali k.w. menceritakan sifat Rasulullah s.a.w., maka ia akan bercerita panjang lebar. Dan ia akan berkata: ‘Di antara kedua bahunya terdapat Khatam kenabian, iaitu Khatam para Nabi.’”

(Riwayat Ahmad ‘Ubadah ad-Dlabi ‘Ali bin Hujr dan lainnya, yang mereka terima dari Isa bin Yunus dari ‘Umar bin ‘Abdullah, dari ‘Ibrahim bin Muhammad yang bersumber dari salah seorang putera ‘Ali bin Abi Thalib k.w.)

*******

Dalam suatu riwayat, Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri mengadakan dialog dengan Abu Zaid ‘Amr bin Akhthab al-Anshari r.a. sebagai berikut:

“Abu Zaid berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: ‘Wahai Abu Zaid mendekatlah kepadaku dan usaplah belakang tubuhku.’

Maka belakang tubuhnya kuusap, dan terasa jari jemariku menyentuh Khatam. Aku (Alba’ bin Ahmar al-Yaskuri) bertanya kepada Abu Zaid: ‘Apakah khatam itu?’

Abu Zaid menjawab: ‘Kumpulan bulu-bulu.’”

(Riwayat Muhammad bin Basyar, dari Abu ‘Ashim dari ‘Uzrah bin Tsabit, yang bersumber dari Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri)

*******

Abu Buraidah r.a. menceritakan tentang pengalaman Salman al-Farisi sebagai berikut:

“Salman al-farisi datang membawa baki berisi kurma kepada Rasulullah s.a.w. (sewaktu ia baru tiba di Madinah). Baki itu diletakkannya di hadapan Rasulullah s.a.w.

Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Wahai Salman! Apa ini?’

Salman menjawab: ‘Ini sedekah buat anda dan sahabat anda.’

Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Angkatlah ini dari sini, kami tidak makan sedekah.’

Baki itu pun diangkat oleh Salman. Keesokan harinya, ia datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di hadapan Rasulullah s.a.w.

Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘ Apakah ini wahai Salman?’

Salman menjawab: ‘ Ini adalah hadiah buat tuan.’

Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabatnya: ‘HIdangkanlah!’

Kemudian Salman memperhatikan Khatam yang terletak di belakang Rasulullah s.a.w. (bahagian belakang badannya sebelah atas) maka ia pun (Salman) menyatakan keimanannya kepada Beliau. Salman r.a. adalah budak seorang Yahudi, maka oleh rasulullah s.a.w. ia dibeli dengan beberapa dirham, yakni dengan cara mengupah menanam pohon kurma. Salman bekerja di kebun itu sampai pohon-pohon kurman itu berbuah. Rasulullah s.a.w. membantunya menanam pohon-pohon itu. Di antaranya ada sebatang pohon yang ditanam ‘Umar r.a. Pohon-pohon itu tumbuh dengan subur, kecuali sebatang pohon yang mati.

Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Kenapa pohon yang satu ini?’

Umar r.a. menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sayalah yang menanamnya.’

Rasulullah s.a.w. pun mencabutnya, kemudian menanaminya lagi, dan tumbuhlah dengan baik.”

(Riwayat Abu ‘Ammar bin Harits al-Khuza’i, dari ‘Ali bin Husein bin Waqid, dari ‘Abdullah bin Buraidah, yang bersumber dari Abu Buraidah r.a.)

*******

Abu Nadirah al-’Aufi pernah bertanya kepada Abi Sa’id al-Khudri perihal khatam. Inilah ceritanya:

Aku bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri perihal Khatam Kenabian Rasulullah s.a.w.

Ia menjawab: ‘ Khatam itu di bahagian belakang badan Rasulullah s.a.w. merupakan daging yang menyembul.”

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Bisyr bin al-Wadlan, dari Abu ;Aqil ad-Dauraqi yang bersumber dari Abu Nadlrah al-’Aufi)

*******

‘Abdullah bin Sirjis menceritakan pengalamannya tatkala bersama Rasulullah s.a.w.:

Aku datang menghadap Rasulullah s.a.w. sewaktu beliau sedang berada di antara sahabat-sahabatnya. Aku berkeliling sedemikian rupa di belakangnya. Rupanya beliau mengerti apa yang kuinginkan, maka beliau melepaskan selendang dari belakangnya, kemudian terlihatlah olehku tempat Khatam Kenabian yang berada di antara kedua bahunya sebesar genggaman tangan, di sekitarnya terdapat tahi lalat, seakan-akan kumpulan jerawat. Sebelum aku kembali, aku menghadap dulu kepada Rasulullah s.a.w., kemudian kukatakan:

‘Wahai Rasulullah, semoga Allah s.w.t. melimpahkan maghfirah-Nya kepada tuan!’

Beliau pun menjawab:

‘Bagimu juga.’

Orang-orang (yang berada) ketika itu bertanya:

‘Apakah Rasulullah s.a.w. memohonkan ampunan untukmu?’

Ia menjawab:

‘Ya, dan juga untuk kalian!’

Kemudian, ia membaca ayat yang bermaksud:

“Dan mohonlah ampun kerana dosamu dan mohonlah ampun untuk orang-orang Mu’min, lelaki dan perempuan.” (Muhammad:19)

(riwayat Ahmad bin al-Muqaddam ‘Abul Asy’ats al-’Ajali al-Bashri, dari Hammad bin Zaid dari ‘Ashim al-Ahwal, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Sirjis)

*******

Dari Jabir bin Samurah r.a. mengemukakan perihal Khatamun-Nabi sebagai berikut:

“Aku pernah melihat khatam (kenabian)… Ia terletak di antara kedua bahu Rasulullah s.a.w. Bentuknya seperti sepotong daging berwarna merah sebesar telur burung dara.”

(Riwayat Sa’id bin Ya’qub at-Thalaqani dari Ayub bin Jabir, dari Simak bin Harb yang bersumber dari Jabir bin Samurah r.a.)

*******

Seorang wanita bernama Rumaitsah bercerita kepada cucunya, iaitu Ashim bin ‘Umar r.a. sebagai berikut:

“Waktu aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, aku duduk berdampingan dengan beliau s.a.w., begitu dekatnya, seandainya aku mahu mengucup tanda kenabian yang terletak di antara kedua bahunya, tentu dapat kulakukan.

Adapun, sabda beliau yang ditujukan kepada Sa’ad bin Mu’adz di kala meninggal dunia ialah: ‘bergoncang Arasy Allah yang Maha Rahman kerananya (kerana kematian Sa’ad).’”

(Riwayat Abu Mush’ab al-Madini, dari Yusuf bin al-Majisyun, dari bapanya, dari ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah yang bersumber dari neneknya, iaitu Rumaitsah)

*******

Abu Nadirah al-’Aufi pernah bertanya kepada Abi Sa’id al-Khudri perihal khatam. Inilah ceritanya:

Aku bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri perihal Khatam Kenabian Rasulullah s.a.w.

Ia menjawab: ‘ Khatam itu di bahagian belakang badan Rasulullah s.a.w. merupakan daging yang menyembul.”

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Bisyr bin al-Wadlan, dari Abu ;Aqil ad-Dauraqi yang bersumber dari Abu Nadlrah al-’Aufi)

Diantara dua bahu nabi SAW ada cap kenabian (Khatamun Nubuwwah)

Dari kitab (Kifayatul Muhtaj bagi bicara israk&mikraj m/s 4) diceritakan..ketika nabi sedang berada ni Hijir Ismail( Baitullah)..datang malaikat Jibrail dan Mikail, dan dibelah dada nabi dari pangkal leher hingga ke bawah perut, dan disucikan hati nabi dan dibasuh jantung nabi dengan air zam-zam 3 kali..dan kemudian dimaterikan antara dua belikat Rasulullah dengan Khatamun Nubuwwah..

Dari kitab Madarijus Suud..syarah ala Maulid Barzanji m/s 51&52...(cap kenabian) ialah daging atau lemak yang hitam (nampak timbul) bercampur kekuningan(seperti urat), kelilingnya itu ade bulu-buluan(bulu roma) yang beriring-iringan seolah-olahnya bulu kuda (halus), berkata Alamah Zurqani dalam kitab AlMawahidunyah syarah ‘ala Syamail, tertulis dalam segitiga itu,

” Allah Tunggal Ia, Tiada Sekutu BagiNya, Muhammad,HambaNya,RasulNya,” dan di luar segitiga itu pada arah kanan , “Hadaplah Hai Muhammad sekira-kira engkau mau (Hadaplah atau Pergilah ke mana engkau mau) dan di sebelah kirinya pula,“Sesungguhnya engkau Muhammad dibela atau dibantu,”

Khasiat Wafak Khotamun Nubuwwah

Menurut Mafhum Hadis yang dipindahkan daripada Imam At-Tirmidzi ra. katanya:

“Sesiapa melihat KHOTAMUN NUBUWWAH dalam keadaan berwudhu’;

1. Pada waktu Subuh nescaya dia dipelihara oleh ALLAH hingga ke petang.

2. Pada waktu Maghrib terpelihara dia oleh ALLAH hingga ke pagi.

3. Ketika berjalan atau bermusafir maka jadilah sepanjang perjalanannya berkat dan selamat, Insya’ALLAH.

4. Sesiapa yang mati dalam tahun tersebut, maka dimatikan dalam iman.”

Yang dimaksudkan dengan melihat, ialah melihat ke dalam diri sendiri semasa mengamalkannya.

Tanda Khotamun Nubuwwah pada diri Nabi Muhammad SAW menunjukkan Nabi SAW adalah penamat/penutup segala Nabi dan Rasul. Tanda ini berada pada belikat Rasullullah SAW.

Para Ulama berbeza pendapat mengenai bentuknya. Yang paling masyhur tanda itu seperti telur burung merpati, iaitu berbentuk gumpalan daging yang menonjol disebelah kiri di bahagian atas, memancarkan cahaya, tampak berwibawa dan berbau wangi.

Antaranya sesiapa yang menjadikan tanda Nubuwwah Nabi SAW ini sebagai perhiasan di rumah, maka ahli rumah tersebut akan terpelihara oleh ALLAH daripada penyakit taun dan wabak, terhindar dari kebakaran dan kecurian sepertimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Saidina Ali KW ra. di dalam Kitab Mahamatnainiah, yang bermaksud:

“Sesiapa yang menjadikan lukisan KHOTAMUN NUBUWWAH aku perhiasan, dipelihara oleh ALLAH baginya daripada penyakit taun dan wabak dan tidak mati melainkan mati dalam iman dan dimasukkan ke dalam syurga tanpa hisab.“

Dan di dalam hadis yang lain yang diriwayatkan daripada Annas ra. Nabi Muhammad SAW bersabda yang bermaksud:

“Bermula rumah yang ada lukisan KHOTAMUN NUBUWWAH aku di dalamnya, maka dipelihara oleh ALLAH baginya daripada kebakaran dan kecurian, dan daripada setiap musuh, dan tidak dimatikannya melainkan tempatnya di Syurga dan diluaskan oleh ALLAH kuburnya dan diterangi olehNya dengan cahaya.“

Sabtu, 06 Januari 2018

SANAD DAN IJAZAH

Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun maknasanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagil ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qiraa’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.

Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :

“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.

Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.


Ijazah

Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.

Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.

Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.

Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Su yuthi dalam kitab Tadribur Rawi,mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.

Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.

Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.

Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu.

Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat)Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.

Pemberian Ijazah menurut Habib MUNZIR ALMUSAWA

Ijazah adalah izin, sebagaimana adabnya seorang murid tidak mencuri buku gurunya sebelum diperbolehkan dan diizinkan, maka itu disebut ijazah, misalnya gurunya membuat sebuah doa, maka doa itu akan lebih afdhal jika yg membacanya sdh terlebih dulu mendapat izin dari pembuatnya.

jika pembuat doa telah wafat, maka izin /ijazah diminta pada murid almarhum yg sudah diizinkan gurunya (sudah mendapat ijazah dari gurunya). atau jika muridnya telah wafat maka murid dari muridnya, dst

hal ini sekedar ikatan ruh kita dg pembuat doa, termasuk pula sunnah Nabi saw, kita mengambil ijazahnya atas perbuatan beliau saw, maka kita tidak mencuri ilmu, namun sudah mendapat izin dan ada hubungan ruh kepada ujung rantainya.

namun kebanyakan para shalihin dan lebih lagi sunnah nabi saw tidak perlu pakai ijazah, karena mereka sudah mengizinkan siapapun melakukannya/mengamalkannya, namun tentunya dg ijazah lebih afdhal.

saya mempermudah ijazah karena tidak berani mempersulitnya, bagaimana orang ingin dekat pada Allah dan para shalihin lalu saya mempersulitnya?, apalagi minta uang bayaran, tidak ada hak minta uang bayaran karena doa itu bukan miliknya, dan doa bukanlah layaknya hal yg diperjual belikan,

saya diajari guru mulia kita demikian, untuk tidak kikir terhadap ijazah, karena dengan menyambungkan hubungan ruh dari ummat ini kepada para shalihin, para ulama dan Nabi saw maka itu adalah pahala besar, dan merupakan dosa besar bagi mereka yg mempersulitnya.

Ijazah adalah hubungan sanad, yaitu hubungan hati dengan Rasul saw atau para ulama yg membuat suatu doa.misalnya Imam Nawawi membuat doa, maka boleh saja siapapun membacanya, namun tentu akan lebih afdhal jika yg membaca itu punya hubungan dengan Imam Nawawi, ia dikenal oleh Imam Nawawi, maka itu yg disebut sanad, jika Imam Nawawi sudah wafat, maka bagaimana caranya mendapat keberkahan doa imam nawawi ini..?. maka kita izin pada muridnya, karena muridnya inilah yg punya hubungan dengan imam nawawi,

jika tak ada muridnya maka murid dari muridnya, nah.. izin dan restu ini disebut ijazah, dan demikian sampai kini kita boleh saja mengamalkan semua doa, namun alangkah baiknya jika minta restu dulu pada orang yg punya hubungan dengan pembuat doa tsb, maka minta restu ini disebut ijazah.

Alqur'an dan sunnah tidak perlu minta restu lagi karena sudah perintah Allah dan Rasul saw pada kita, namun tentunya jika ada restu dari orang yg punya ijazah pula sampai bersambung pada Rasul saw, maka afdhal.

Adab Pemberian Ijazah

Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian besar pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya bagi para spiritualis dari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagai amalan spiritual lainnya pasti seseorang akan memintaterlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual tersebut kepada ahlinya.Namun, hingga kini masih banyak para spiritualis yang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka.
Kenapa suatu ilmu spiritual mesti memiliki Ijazah yang jelas ?
Siapa saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ?
Bagaimanakah adab dan tatakrama di dalam memberi dan menerima Ijazah ?
Dan berbagai pertanyaan lainnya seputar Ijazah.Secara garis besar, Ijazah adalah suatu tindakan berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid.Sedangkan secara khusus pengertian Ijazah adalah pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh seorang Guru ke dalam ruh seorang Murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan kewajiban dan khidmat.

Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah dalam suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang
ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah, para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah
Muhammad S.A.W.
Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20 tahun, selama itu pula ia sering mengalamiberbagai peristiwa ghaib yang menurutnya adalah benar.Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali Allah,
bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas dan berbagai pengalaman ghaib lainnya.Suatu hari ketika berdagang ke Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya
dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan selama 20 tahun ini ?” Abu Nahar menjawab, “Yang aku amalkan hanyalah Al – Fatihah dan Al – Ikhlas beserta doanya dan apa yang terdapat di dalam Kitab Nuuan.” Syaikh Aqil pun menengadahkan kepalanya ke arah langit dan berkata : “Janganlah sekali – kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut- pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al – A’raf : 27).” Seketika itu pula ia (Abu Nahar) terjatuh tak sadarkan diri ditanah, lalu Syaikh Aqil mengusap wajahnya, memukul dadanya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya. Ketika kembali sadar, beberapa orang menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu nahar, apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi untukmu ?” Abu Nahar pun menjawab, “Ketika ia (Syaikh Aqil) menatap langit,sesungguhnya aku melihat para
malaikat turun membawa Nur (cahaya). Lalu Syaikh Aqil mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan benih – benih Mahabbah.
Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai Abu Nahar,
janganlah engkau mencari cinta – Nya dengan ada tujuan maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan.
Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Guru.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa besarnya sosok seorang guru dan Ijazahnya di dalam mengamalkan suatu ilmu spiritual. Tanpa bimbingan dari seorang guru, maka sangat riskan bagi seseorang yang mengamalkan suatu ilmu spiritual dari godaan tipu daya
setan yang ingin menyesatkan hatinya.Selain itu menurut Syaikh Abu Thalib Al – Makki R.A, setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah S.W.T. Maka untuk bisa menguasai ilmu spiritual itu secara sempurna, dibutuhkan bantuan seorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut. jika ditelaah, maka sudah sangat banyak para pecinta spiritual saat ini yang hanya menerima sebuah Ijazah kosong tanpa makna..Karena pengijazahannya tidak sesuai dengan tata laku pemberian dan penerimaan Ijazah yang benar menurut hukumnya dan juga tak sedikit dari mereka tahu akan jenis serta kedudukan Ijazah yang diberikannya. Inilah salah satu penyebab terbesar kegagalan para pecinta spiritual saat ini di dalam mengamalkan dan mendalami suatu ilmu spiritual yang telah diterimanya dari seorang pelaku spiritual yang masih awam

Dalam adab pemberian dan penerimaan suatu Ijazah, hampir sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa sebaik –baik pemberian suatu Ijazah paling tidak walau tidak harus mirip,didahului dengan sholat sunnah 2 raka’at antara si guru dan si murid. Kemudian dilanjutkan oleh si guru dengan pengucapan 2 kalimat Syahadat, Sholawat Nabi, Istighfar, Surat Al – Fatihah, Isi Ijazah, Sholawat  Nabi Khusus dan ditutup dengan kalimat Tahlil dan Takbir beberapa kali.

Sebaik – baik Isi Ijazah adalah dengan menyertai nama dan nama ayah si penerima Ijazah di dalam awal pengucapannya.Selanjutnya adalah tugas si murid penerima Ijazah untuk menjawab / membalas penyampaian Ijazah dari si guru dengan mengucapkan Tahmid dan kalimat Tanda Terima, dilanjutkan dengan Sujud Syukur dan ditutup dengan Doa Khusus bersama si guru pemberi Ijazah. Akan lebih baik lagi jika setelah itu si murid menutup semuanya dengan sholat sunnah 2 raka’at sebagai tanda syukurnya telah diberi Ijazah suatu ilmu dan amalan spiritual.semoga bermanfaat untuk kita agar hati hati krn begitu byk bertebaran ijazah diluar yg tanpa dibimbing.dalam laku ilmu jaga hati dan hilangkan nafsu isi dgn mahabah.wasalam.

Jumat, 05 Januari 2018

AMALAN ISTIGHFAR AGAR SELALU DITEMANI NABI MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

(مَأْخُوْذٌ مِنَ الكِتَابِ ” تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ ” للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )
← (فائدة) : رَأَى رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ المَالِكِيَّةِ رَسُوْلَ اللّٰهِ صلّى اللّه عليه وسلّم فِي المَنَامِ وَسَمِعَهُ يَقُوْلُ « مَنْ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ ” أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَبَوَيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَهْلِ بَيْتِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ أَيْضًا كُنْتُ مَعَهُ أَيْنَمَا كَانَ “» وَهٰذَا دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُمَا مُؤْمِنَانِ وَإِلَّا فَلَا فَائِدَةَ فِي الإِسْتِغْفَارِ ….، إنتهى.
( تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )

→( FAEDAH ) : Ada seseorang yang shalih dari madzhab Malikiyyah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam didalam mimpi dan beliau mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi bersabda : ” Barang siapa yang mengucapkan setiap hari ; – ASTAGHFIRULLAAH LIABAWAY RASUULILLAAHI SHALALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM – 100 KALI – ASTAGHFIRULLAAH LIAHLI BAITI RASUULILLAAHI SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM – 100 KALI, maka saya akan bersamanya dimana saja dia berada “. Imam Nawawi menerangkan ; ” Dan ini (istighfar) adalah dalil bahwa sesungguhnya kedua orang tua Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah orang mukmin yang beriman, jika tidak mukmin maka tidak ada faedahnya didalam beristighfar kepada kedua orang tua Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam ” .

(Kitab Targhib Al Musytaaqin Lis Syaikh Al Imam Muhammad Nawawi bin Umar Al Bantany Al Jawy, hal; 8 )

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya fiddiini wad dunya wal aakhirah aamiin aamiin aamiin aamiin ya rabbal aalamiin bisirri asrari Al-Faatihah….