Blog ini berisi berbagai informasi mengenai ilmu tasawuf,thariqah attijaniyyah dan keilmuan islam yang lainnya sebagai tambahan wawasan bagi yang memerlukannya.
"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)
Senin, 08 Januari 2018
Sabtu, 06 Januari 2018
SANAD DAN IJAZAH
Sebagai
kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran.
Adapun maknasanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan
(redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa
orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis
ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at.
Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang
meriwayatkan) bagil ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu
qiraa’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.
Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.
Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.
Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.
Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :
“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :
“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.
Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.
Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.
Ijazah
Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.
Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.
Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.
Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Su yuthi dalam kitab Tadribur Rawi,mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.
Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.
Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.
Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu.
Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat)Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.
Pemberian Ijazah menurut Habib MUNZIR ALMUSAWA
Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.
Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.
Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.
Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :
“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :
“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.
Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.
Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.
Ijazah
Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.
Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.
Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.
Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Su yuthi dalam kitab Tadribur Rawi,mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.
Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.
Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.
Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu.
Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat)Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.
Pemberian Ijazah menurut Habib MUNZIR ALMUSAWA
Ijazah adalah izin, sebagaimana adabnya seorang murid tidak mencuri buku gurunya sebelum diperbolehkan dan diizinkan, maka itu disebut ijazah, misalnya gurunya membuat sebuah doa, maka doa itu akan lebih afdhal jika yg membacanya sdh terlebih dulu mendapat izin dari pembuatnya.
jika pembuat doa telah wafat, maka izin /ijazah diminta pada murid almarhum yg sudah diizinkan gurunya (sudah mendapat ijazah dari gurunya). atau jika muridnya telah wafat maka murid dari muridnya, dst
hal ini sekedar ikatan ruh kita dg pembuat doa, termasuk pula sunnah Nabi saw, kita mengambil ijazahnya atas perbuatan beliau saw, maka kita tidak mencuri ilmu, namun sudah mendapat izin dan ada hubungan ruh kepada ujung rantainya.
namun kebanyakan para shalihin dan lebih lagi sunnah nabi saw tidak perlu pakai ijazah, karena mereka sudah mengizinkan siapapun melakukannya/mengamalkannya, namun tentunya dg ijazah lebih afdhal.
saya mempermudah ijazah karena tidak berani mempersulitnya, bagaimana orang ingin dekat pada Allah dan para shalihin lalu saya mempersulitnya?, apalagi minta uang bayaran, tidak ada hak minta uang bayaran karena doa itu bukan miliknya, dan doa bukanlah layaknya hal yg diperjual belikan,
saya diajari guru mulia kita demikian, untuk tidak kikir terhadap ijazah, karena dengan menyambungkan hubungan ruh dari ummat ini kepada para shalihin, para ulama dan Nabi saw maka itu adalah pahala besar, dan merupakan dosa besar bagi mereka yg mempersulitnya.
Ijazah adalah hubungan sanad, yaitu hubungan hati dengan Rasul saw atau para ulama yg membuat suatu doa.misalnya Imam Nawawi membuat doa, maka boleh saja siapapun membacanya, namun tentu akan lebih afdhal jika yg membaca itu punya hubungan dengan Imam Nawawi, ia dikenal oleh Imam Nawawi, maka itu yg disebut sanad, jika Imam Nawawi sudah wafat, maka bagaimana caranya mendapat keberkahan doa imam nawawi ini..?. maka kita izin pada muridnya, karena muridnya inilah yg punya hubungan dengan imam nawawi,
jika tak ada
muridnya maka murid dari muridnya, nah.. izin dan restu ini disebut ijazah, dan
demikian sampai kini kita boleh saja mengamalkan semua doa, namun alangkah
baiknya jika minta restu dulu pada orang yg punya hubungan dengan pembuat doa
tsb, maka minta restu ini disebut ijazah.
Alqur'an dan sunnah tidak perlu minta restu lagi karena sudah perintah Allah dan Rasul saw pada kita, namun tentunya jika ada restu dari orang yg punya ijazah pula sampai bersambung pada Rasul saw, maka afdhal.
Adab Pemberian Ijazah
Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian besar pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya bagi para spiritualis dari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagai amalan spiritual lainnya pasti seseorang akan memintaterlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual tersebut kepada ahlinya.Namun, hingga kini masih banyak para spiritualis yang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka.
Alqur'an dan sunnah tidak perlu minta restu lagi karena sudah perintah Allah dan Rasul saw pada kita, namun tentunya jika ada restu dari orang yg punya ijazah pula sampai bersambung pada Rasul saw, maka afdhal.
Adab Pemberian Ijazah
Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian besar pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya bagi para spiritualis dari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagai amalan spiritual lainnya pasti seseorang akan memintaterlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual tersebut kepada ahlinya.Namun, hingga kini masih banyak para spiritualis yang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka.
Kenapa suatu ilmu
spiritual mesti memiliki Ijazah yang jelas ?
Siapa saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ?
Bagaimanakah adab dan tatakrama di dalam memberi dan menerima Ijazah ?
Siapa saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ?
Bagaimanakah adab dan tatakrama di dalam memberi dan menerima Ijazah ?
Dan berbagai pertanyaan
lainnya seputar Ijazah.Secara garis besar, Ijazah adalah suatu tindakan
berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari seorang
yang ahli (Guru) kepada seorang Murid.Sedangkan secara khusus pengertian Ijazah
adalah pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh
seorang Guru ke dalam ruh seorang Murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan
kewajiban dan khidmat.
Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah dalam suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang
ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah, para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah
Muhammad S.A.W.
Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20 tahun, selama itu pula ia sering mengalamiberbagai peristiwa ghaib yang menurutnya adalah benar.Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali Allah,
bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas dan berbagai pengalaman ghaib lainnya.Suatu hari ketika berdagang ke Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya
dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan selama 20 tahun ini ?” Abu Nahar menjawab, “Yang aku amalkan hanyalah Al – Fatihah dan Al – Ikhlas beserta doanya dan apa yang terdapat di dalam Kitab Nuuan.” Syaikh Aqil pun menengadahkan kepalanya ke arah langit dan berkata : “Janganlah sekali – kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut- pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al – A’raf : 27).” Seketika itu pula ia (Abu Nahar) terjatuh tak sadarkan diri ditanah, lalu Syaikh Aqil mengusap wajahnya, memukul dadanya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya. Ketika kembali sadar, beberapa orang menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu nahar, apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi untukmu ?” Abu Nahar pun menjawab, “Ketika ia (Syaikh Aqil) menatap langit,sesungguhnya aku melihat para
malaikat turun membawa Nur (cahaya). Lalu Syaikh Aqil mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan benih – benih Mahabbah.
Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai Abu Nahar,
janganlah engkau mencari cinta – Nya dengan ada tujuan maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan.
Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Guru.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa besarnya sosok seorang guru dan Ijazahnya di dalam mengamalkan suatu ilmu spiritual. Tanpa bimbingan dari seorang guru, maka sangat riskan bagi seseorang yang mengamalkan suatu ilmu spiritual dari godaan tipu daya
setan yang ingin menyesatkan hatinya.Selain itu menurut Syaikh Abu Thalib Al – Makki R.A, setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah S.W.T. Maka untuk bisa menguasai ilmu spiritual itu secara sempurna, dibutuhkan bantuan seorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut. jika ditelaah, maka sudah sangat banyak para pecinta spiritual saat ini yang hanya menerima sebuah Ijazah kosong tanpa makna..Karena pengijazahannya tidak sesuai dengan tata laku pemberian dan penerimaan Ijazah yang benar menurut hukumnya dan juga tak sedikit dari mereka tahu akan jenis serta kedudukan Ijazah yang diberikannya. Inilah salah satu penyebab terbesar kegagalan para pecinta spiritual saat ini di dalam mengamalkan dan mendalami suatu ilmu spiritual yang telah diterimanya dari seorang pelaku spiritual yang masih awam
Dalam adab pemberian dan penerimaan suatu Ijazah, hampir sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa sebaik –baik pemberian suatu Ijazah paling tidak walau tidak harus mirip,didahului dengan sholat sunnah 2 raka’at antara si guru dan si murid. Kemudian dilanjutkan oleh si guru dengan pengucapan 2 kalimat Syahadat, Sholawat Nabi, Istighfar, Surat Al – Fatihah, Isi Ijazah, Sholawat Nabi Khusus dan ditutup dengan kalimat Tahlil dan Takbir beberapa kali.
Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah dalam suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang
ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah, para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah
Muhammad S.A.W.
Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20 tahun, selama itu pula ia sering mengalamiberbagai peristiwa ghaib yang menurutnya adalah benar.Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali Allah,
bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas dan berbagai pengalaman ghaib lainnya.Suatu hari ketika berdagang ke Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya
dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan selama 20 tahun ini ?” Abu Nahar menjawab, “Yang aku amalkan hanyalah Al – Fatihah dan Al – Ikhlas beserta doanya dan apa yang terdapat di dalam Kitab Nuuan.” Syaikh Aqil pun menengadahkan kepalanya ke arah langit dan berkata : “Janganlah sekali – kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut- pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al – A’raf : 27).” Seketika itu pula ia (Abu Nahar) terjatuh tak sadarkan diri ditanah, lalu Syaikh Aqil mengusap wajahnya, memukul dadanya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya. Ketika kembali sadar, beberapa orang menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu nahar, apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi untukmu ?” Abu Nahar pun menjawab, “Ketika ia (Syaikh Aqil) menatap langit,sesungguhnya aku melihat para
malaikat turun membawa Nur (cahaya). Lalu Syaikh Aqil mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan benih – benih Mahabbah.
Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai Abu Nahar,
janganlah engkau mencari cinta – Nya dengan ada tujuan maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan.
Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Guru.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa besarnya sosok seorang guru dan Ijazahnya di dalam mengamalkan suatu ilmu spiritual. Tanpa bimbingan dari seorang guru, maka sangat riskan bagi seseorang yang mengamalkan suatu ilmu spiritual dari godaan tipu daya
setan yang ingin menyesatkan hatinya.Selain itu menurut Syaikh Abu Thalib Al – Makki R.A, setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah S.W.T. Maka untuk bisa menguasai ilmu spiritual itu secara sempurna, dibutuhkan bantuan seorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut. jika ditelaah, maka sudah sangat banyak para pecinta spiritual saat ini yang hanya menerima sebuah Ijazah kosong tanpa makna..Karena pengijazahannya tidak sesuai dengan tata laku pemberian dan penerimaan Ijazah yang benar menurut hukumnya dan juga tak sedikit dari mereka tahu akan jenis serta kedudukan Ijazah yang diberikannya. Inilah salah satu penyebab terbesar kegagalan para pecinta spiritual saat ini di dalam mengamalkan dan mendalami suatu ilmu spiritual yang telah diterimanya dari seorang pelaku spiritual yang masih awam
Dalam adab pemberian dan penerimaan suatu Ijazah, hampir sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa sebaik –baik pemberian suatu Ijazah paling tidak walau tidak harus mirip,didahului dengan sholat sunnah 2 raka’at antara si guru dan si murid. Kemudian dilanjutkan oleh si guru dengan pengucapan 2 kalimat Syahadat, Sholawat Nabi, Istighfar, Surat Al – Fatihah, Isi Ijazah, Sholawat Nabi Khusus dan ditutup dengan kalimat Tahlil dan Takbir beberapa kali.
Sebaik – baik Isi
Ijazah adalah dengan menyertai nama dan nama ayah si penerima Ijazah di dalam
awal pengucapannya.Selanjutnya adalah tugas si murid penerima Ijazah untuk
menjawab / membalas penyampaian Ijazah dari si guru dengan mengucapkan Tahmid dan kalimat Tanda Terima, dilanjutkan dengan Sujud Syukur
dan ditutup dengan Doa Khusus bersama si guru pemberi Ijazah. Akan lebih baik lagi jika setelah itu si murid menutup semuanya
dengan sholat sunnah 2 raka’at sebagai tanda syukurnya telah diberi Ijazah
suatu ilmu dan amalan spiritual.semoga bermanfaat untuk kita agar hati hati krn
begitu byk bertebaran ijazah diluar yg tanpa dibimbing.dalam laku ilmu jaga hati
dan hilangkan nafsu isi dgn mahabah.wasalam.
Jumat, 05 Januari 2018
AMALAN ISTIGHFAR AGAR SELALU DITEMANI NABI MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
(مَأْخُوْذٌ مِنَ الكِتَابِ ” تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ ” للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )
← (فائدة) : رَأَى رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ المَالِكِيَّةِ رَسُوْلَ اللّٰهِ
صلّى اللّه عليه وسلّم فِي المَنَامِ وَسَمِعَهُ يَقُوْلُ « مَنْ قَالَ
كُلَّ يَوْمٍ ” أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَبَوَيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَهْلِ
بَيْتِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ
مَرَّةٍ أَيْضًا كُنْتُ مَعَهُ أَيْنَمَا كَانَ “» وَهٰذَا دَلِيْلٌ عَلَى
أَنَّهُمَا مُؤْمِنَانِ وَإِلَّا فَلَا فَائِدَةَ فِي الإِسْتِغْفَارِ ….،
إنتهى.
( تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )
→( FAEDAH ) : Ada seseorang yang shalih dari madzhab Malikiyyah
melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam didalam mimpi dan beliau
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi bersabda : ” Barang siapa yang
mengucapkan setiap hari ; – ASTAGHFIRULLAAH LIABAWAY RASUULILLAAHI
SHALALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM – 100 KALI – ASTAGHFIRULLAAH LIAHLI BAITI
RASUULILLAAHI SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM – 100 KALI, maka saya akan
bersamanya dimana saja dia berada “. Imam Nawawi menerangkan ; ” Dan ini
(istighfar) adalah dalil bahwa sesungguhnya kedua orang tua Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah orang mukmin yang beriman,
jika tidak mukmin maka tidak ada faedahnya didalam beristighfar kepada
kedua orang tua Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam ” .
(Kitab Targhib Al Musytaaqin Lis Syaikh Al Imam Muhammad Nawawi bin Umar Al Bantany Al Jawy, hal; 8 )
Semoga bermanfaat bagi kita semuanya fiddiini wad dunya wal aakhirah
aamiin aamiin aamiin aamiin ya rabbal aalamiin bisirri asrari
Al-Faatihah….
Doa Saat Banyak Hutang
Seorang sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW terkait utang yang
dideritanya. “Kenapa tidak amalkan Sayyidul Istighfar?” kata Rasulullah.
Rasulullah menganjurkan sahabatnya untuk membaca tasbih berikut antara
terbit fajar dan shalat Shubuh.
Subhânallâhi wa bi hamdih, subhânallâhil ‘azhîm, astaghfirullâh 100 kali.
Artinya, “’Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Mahasuci Allah yang Maha Agung. Aku memohon ampun kepada Allah,’ 100 kali,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ma Dza fi Sya‘ban, 1424 H, halaman 63). Wallahu a‘lam.(Alhafiz K)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ العَظِيْمِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِئَةَ مَرَّةٍ
Subhânallâhi wa bi hamdih, subhânallâhil ‘azhîm, astaghfirullâh 100 kali.
Artinya, “’Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Mahasuci Allah yang Maha Agung. Aku memohon ampun kepada Allah,’ 100 kali,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ma Dza fi Sya‘ban, 1424 H, halaman 63). Wallahu a‘lam.(Alhafiz K)
Kamis, 04 Januari 2018
7 ANCAMAN BAGI MEREKA PEMBENCI, PENCACI DAN PEMFITNAH PARA DZURIYYAT RASUL (KETURUNAN RASUL /HABAIB & SYARIFAH) YANG ISTIQOMAH
1. ALLOH SWT MARAH KEPADA ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB.
3. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB TERMASUK GOLONGAN ORANG KAFIR.
Rosululloh SAW bersabda :
ﺃﻻ ﻭﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺎﺕ ﻛﺎﻓﺮﺍ , ﺃﻻ ﻭﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ , ﻟﻢ ﻳﺸﻢّ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﺠﻨّﺔ
Sungguh siapa yang mati dalam keadaan membenci keluarga Muhammad saw, maka ia mati dalam keadaan kafir. Sungguh siapa yang mati dalam keadaan membenci keluarga Muhammad saw, maka ia tidak akan mencium harumnya surga.[6]
4. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB TERMASUK GOLONGAN YAHUDI.
Dari Jabir bin Abdillah al-Anshori, Rosululloh saw bersabda :
ﺃﻳّﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺣﺸﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻬﻮﺩﻳﺎ . ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭﺇﻥ ﺻﺎﻡ ﻭﺻﻠّﻰ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻭﺇﻥ ﺻﺎﻡ ﻭ ﺻﻠّﻰ
Wahai manusia, siapa saja yang membenci kami ahlu bait, maka Alloh swt akan mengumpulkannya di hari kiamat dalam golongan orang-orang Yahudi. Jabir berkata: Ya Rosululloh, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan mengerjakan sholat. Rosul menjawab : Walaupun mereka berpuasa dan mengerjakan sholat.[7]
5. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB AKAN MASUK NERAKA.
Rosululloh SAW bersabda :
ﻭﺍﻟّﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ , ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, Tidaklah seorang yang membenci kami ahlu bait kecuali Alloh swt akan masukkan ia ke dalam neraka.” [8]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻭﺍﻟّﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ , ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺃﻛﺒّﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, Tidaklah seorang yang membenci kami ahlu bait kecuali Alloh swt akan masukkan ia ke dalam neraka.” [9]
Rosululloh SAW bersabda :
… ﻓَﻠَﻮْ ﺍَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺻﻔَﻦَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮُّﻛْﻦِ ﻭَﺍﻟﻤَﻘَﺎﻡِ , ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭَﺻَﺎﻡَ , ﺛُﻢَّ ﻟﻘﻲ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﺒْﻐِﺾٌ ﻻِﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺖِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ .
“… Maka sekiranya seseorang berdiri di antara salah satu sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim, lalu ia shalat dan puasa, kemudian meninggal sedangkan ia adalah pembenci keluarga (ahlu al-bait) Muhammad, pasti ia masuk neraka”.[10]
Rosululloh saw bersabda :
ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﻭﻻ ﻳﺤﺴﺪﻧﺎ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺫﻳﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺑﺴﻴﺎﻁ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Tidak seorang pun yang membenci dan hasud kepada kami (ahlu bait) kecuali Alloh swt akan mengusirnya di hari kiamat dengan cambuk yang berasal dari api neraka.[11]
6. ALLOH SWT SANGAT MURKA KEPADA UMMATNYA YANG MENYAKITI PARA HABAIB
Rosululloh saw bersabda :
ﺇﺷﺘﺪّ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Alloh swt sangat murka kepada orang yang menggangguku melalui keturunanku.” [12]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﺷﺘﺪّ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻏﻀﺒﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻫﺮﻕ ﺩﻣﻲ ﻭ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Alloh SWT dan aku sangat murka kepada orang yang menumpahkan darahku dan menyakitiku melalui keturunanku.” [13]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺳﺐّ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ﻓﺄﻧﺎ ﺑﺮﻱﺀ ﻣﻨﻪ
“Siapa yang mencela ahlu baitku, maka aku berlepas diri darinya.” [14]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻫﻠﻲ ﻓﻘﺪ ﺁﺫﻯ ﺍﻟﻠﻪ
“Siapa yang menyakitiku dalam urusan keluargaku, maka ia telah menyakiti Alloh.” [15]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﻥّ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺒﻐﺾ ﺍﻵﻛﻞ ﻓﻮﻕ ﺷﺒﻌﻪ , ﻭﺍﻟﻐﺎﻓﻞ ﻋﻦ ﻃﺎﻋﺔ ﺭﺑﻪ , ﻭﺍﻟﺘﺎﺭﻙ ﺳﻨّﺔ ﻧﺒﻴﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺨﻔﺮ ﺫﻣّﺘﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺒﻐﺾ ﻋﺘﺮﺓ ﻧﺒﻴﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺆﺫﻱ ﺟﻴﺮﺍﻧﻪ .
“Sesungguhnya Alloh swt membenci orang yang makan di atas batas kekenyangannya, orang yang lali dari melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya, orang yang mencampakkan sunnah nabinya, orang yang menremehkan tanggungjawabnya, orang yang membenci ithroh (keturunan) nabinya dan mengganggu tetangganya”. [16]
7. ALLOH SWT MENGHARAMKAN SURGA KEPADA ORANG YANG MENDZOLIMI PARA HABAIB
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﻥّ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺮّﻡ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
“Sesungguhnya Alloh swt mengharamkan surga kepada orang yang menzhklimi ahlu baitku.” [17]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺣﺮّﻣﺖ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ﻭ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Surga diharamkan bagi siapa saja yang menzholimi ahlu baitku dan menyakiti aku melalui keturunanku.” [18]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺍﻟﻮﻳﻞ ﻟﻈﺎﻟﻤﻲ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ , ﻋﺬﺍﺑﻬﻢ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺭﻙ ﺍﻷﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Celakalah siapa saja yang menzdalimi ahlu baitku, mereka akan diadzab bersama orang-orang munafiq di dasar neraka.” [19]
Referensi Kitab
[1] Kanz al-Ummal (12/98)
[2] Faraid al-Simthin (2/256)
[3] Al-Dur al-Mansur (7/349), Fadhail al-Sahabah (2/661)
[4] Dzakhair al-Uqba : 218, al-Showaiq al-Muhriqah : 230.
[5] Jami’ al-Akhbar : 214.
[6] Al-Kasyaf (3/403)
[7] Al-Mu’jam al-Ausath (4/212)
[8] Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (3/162), al-Dur al-Mansur (7/349)
[9] Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (4/392), Majma’ al-Zawaid (7/580)
[10] Al-Mu’jam al-Kabir (11/142), al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (3/161)
[11] Al-Mu’jam al-Kabir (3/81)
[12] Ihya al-Mait al-Suyuthi : 53
[13] Dzakhoir al-Uqba : 39
[14] Yanabi’ al-Mawaddah (2/378)
[15] Kanz al-Ummal (12/103)
[16] Ihya al-Mait : 53
[17] Dzakhoir al-Uqba : 20
[18] Tafsir al-Qurthubi (16/22)
[19] Yanabi’ al-Mawaddah (2/326)
Rosululloh SAW bersabda :
… ﻭﻫﻢ ﻋِﺘْﺮَﺗِﻲ , ﺧُﻠِﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻃِﻴْﻨَﺘِﻲ , ﻓَﻮَﻳْﻞٌ ﻟِﻠْﻤُﻜَﺬِّﺑِﻲْﻥَ ﺑِﻔَﻀْﻠِﻬِﻢْ , ﻣﻦ ﺍﺣﺒﻬﻢ ﺍﺣﺒﻪ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻬﻢ ﺃﺑﻐﻀﻪ ﺍﻟﻠﻪ
“… Mereka adalah keturunanku dan diciptakan dari tanahku. Celakalah dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka. Siapa yang mencintai mereka maka Alloh akan mencintainya, siapa yang membenci mereka maka Alloh akan membencinya”.[1]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺃﻻ ﻭ ﻣﻦ ﺍﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺟﺎﺀ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﺑﻴﻦ ﻋﻴﻨﻴﻪ : ﺁﺋﺲ ﻣﻦ ﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
Sungguh siapa yang membenci keluarga Muhammad saw, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat dengan tulisan di antara kedua matanya : ‘orang ini telah terputus dari rahmat Alloh swt’.[2]
2. ORANG YANG MEMBENCI HABAIB TERMASUK GOLONGAN ORANG MUNAFIK.
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻨﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﺎﻓﻖ
Siapa orang yang membenci kami ahlu bait adalah termasuk golongan munafik.[3]
Rosululloh saw bersabda :
ﻻ ﻳﺤﺒﻨﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻻ ﻣﺆﻣﻦ ﺗﻘﻲ , ﻭﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻻ ﻣﻨﺎﻓﻖ ﺷﻘﻲ
“Tidak ada yang mencintai kami ahlu bait kecuali orang yang beriman dan bertaqwa, dan tidak ada yang membenci kami kecuali orang munafik dan durhaka.” [4]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺃﺑﻐﺾ ﻋﺘﺮﺗﻲ ﻓﻬﻮ ﻣﻠﻌﻮﻥ ﻭ ﻣﻨﺎﻓﻖ ﺧﺎﺳﺮ
“Siapa yang membenci keturunanku, ia termasuk orang yang dilaknat dan munafik yang merugi.” [5]
… ﻭﻫﻢ ﻋِﺘْﺮَﺗِﻲ , ﺧُﻠِﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻃِﻴْﻨَﺘِﻲ , ﻓَﻮَﻳْﻞٌ ﻟِﻠْﻤُﻜَﺬِّﺑِﻲْﻥَ ﺑِﻔَﻀْﻠِﻬِﻢْ , ﻣﻦ ﺍﺣﺒﻬﻢ ﺍﺣﺒﻪ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻬﻢ ﺃﺑﻐﻀﻪ ﺍﻟﻠﻪ
“… Mereka adalah keturunanku dan diciptakan dari tanahku. Celakalah dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka. Siapa yang mencintai mereka maka Alloh akan mencintainya, siapa yang membenci mereka maka Alloh akan membencinya”.[1]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺃﻻ ﻭ ﻣﻦ ﺍﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺟﺎﺀ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﺑﻴﻦ ﻋﻴﻨﻴﻪ : ﺁﺋﺲ ﻣﻦ ﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
Sungguh siapa yang membenci keluarga Muhammad saw, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat dengan tulisan di antara kedua matanya : ‘orang ini telah terputus dari rahmat Alloh swt’.[2]
2. ORANG YANG MEMBENCI HABAIB TERMASUK GOLONGAN ORANG MUNAFIK.
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻨﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﺎﻓﻖ
Siapa orang yang membenci kami ahlu bait adalah termasuk golongan munafik.[3]
Rosululloh saw bersabda :
ﻻ ﻳﺤﺒﻨﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻻ ﻣﺆﻣﻦ ﺗﻘﻲ , ﻭﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻻ ﻣﻨﺎﻓﻖ ﺷﻘﻲ
“Tidak ada yang mencintai kami ahlu bait kecuali orang yang beriman dan bertaqwa, dan tidak ada yang membenci kami kecuali orang munafik dan durhaka.” [4]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺃﺑﻐﺾ ﻋﺘﺮﺗﻲ ﻓﻬﻮ ﻣﻠﻌﻮﻥ ﻭ ﻣﻨﺎﻓﻖ ﺧﺎﺳﺮ
“Siapa yang membenci keturunanku, ia termasuk orang yang dilaknat dan munafik yang merugi.” [5]
3. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB TERMASUK GOLONGAN ORANG KAFIR.
Rosululloh SAW bersabda :
ﺃﻻ ﻭﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺎﺕ ﻛﺎﻓﺮﺍ , ﺃﻻ ﻭﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺑﻐﺾ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ , ﻟﻢ ﻳﺸﻢّ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﺠﻨّﺔ
Sungguh siapa yang mati dalam keadaan membenci keluarga Muhammad saw, maka ia mati dalam keadaan kafir. Sungguh siapa yang mati dalam keadaan membenci keluarga Muhammad saw, maka ia tidak akan mencium harumnya surga.[6]
4. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB TERMASUK GOLONGAN YAHUDI.
Dari Jabir bin Abdillah al-Anshori, Rosululloh saw bersabda :
ﺃﻳّﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻦ ﺃﺑﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺣﺸﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻬﻮﺩﻳﺎ . ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭﺇﻥ ﺻﺎﻡ ﻭﺻﻠّﻰ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻭﺇﻥ ﺻﺎﻡ ﻭ ﺻﻠّﻰ
Wahai manusia, siapa saja yang membenci kami ahlu bait, maka Alloh swt akan mengumpulkannya di hari kiamat dalam golongan orang-orang Yahudi. Jabir berkata: Ya Rosululloh, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan mengerjakan sholat. Rosul menjawab : Walaupun mereka berpuasa dan mengerjakan sholat.[7]
5. ORANG YANG MEMBENCI PARA HABAIB AKAN MASUK NERAKA.
Rosululloh SAW bersabda :
ﻭﺍﻟّﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ , ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, Tidaklah seorang yang membenci kami ahlu bait kecuali Alloh swt akan masukkan ia ke dalam neraka.” [8]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻭﺍﻟّﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ , ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺃﻛﺒّﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, Tidaklah seorang yang membenci kami ahlu bait kecuali Alloh swt akan masukkan ia ke dalam neraka.” [9]
Rosululloh SAW bersabda :
… ﻓَﻠَﻮْ ﺍَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺻﻔَﻦَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮُّﻛْﻦِ ﻭَﺍﻟﻤَﻘَﺎﻡِ , ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭَﺻَﺎﻡَ , ﺛُﻢَّ ﻟﻘﻲ ﺍﻟﻠﻪ , ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﺒْﻐِﺾٌ ﻻِﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺖِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ .
“… Maka sekiranya seseorang berdiri di antara salah satu sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim, lalu ia shalat dan puasa, kemudian meninggal sedangkan ia adalah pembenci keluarga (ahlu al-bait) Muhammad, pasti ia masuk neraka”.[10]
Rosululloh saw bersabda :
ﻻ ﻳﺒﻐﻀﻨﺎ ﻭﻻ ﻳﺤﺴﺪﻧﺎ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺫﻳﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺑﺴﻴﺎﻁ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Tidak seorang pun yang membenci dan hasud kepada kami (ahlu bait) kecuali Alloh swt akan mengusirnya di hari kiamat dengan cambuk yang berasal dari api neraka.[11]
6. ALLOH SWT SANGAT MURKA KEPADA UMMATNYA YANG MENYAKITI PARA HABAIB
Rosululloh saw bersabda :
ﺇﺷﺘﺪّ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Alloh swt sangat murka kepada orang yang menggangguku melalui keturunanku.” [12]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﺷﺘﺪّ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻏﻀﺒﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻫﺮﻕ ﺩﻣﻲ ﻭ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Alloh SWT dan aku sangat murka kepada orang yang menumpahkan darahku dan menyakitiku melalui keturunanku.” [13]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺳﺐّ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ﻓﺄﻧﺎ ﺑﺮﻱﺀ ﻣﻨﻪ
“Siapa yang mencela ahlu baitku, maka aku berlepas diri darinya.” [14]
Rosululloh SAW bersabda :
ﻣﻦ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻫﻠﻲ ﻓﻘﺪ ﺁﺫﻯ ﺍﻟﻠﻪ
“Siapa yang menyakitiku dalam urusan keluargaku, maka ia telah menyakiti Alloh.” [15]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﻥّ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺒﻐﺾ ﺍﻵﻛﻞ ﻓﻮﻕ ﺷﺒﻌﻪ , ﻭﺍﻟﻐﺎﻓﻞ ﻋﻦ ﻃﺎﻋﺔ ﺭﺑﻪ , ﻭﺍﻟﺘﺎﺭﻙ ﺳﻨّﺔ ﻧﺒﻴﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺨﻔﺮ ﺫﻣّﺘﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺒﻐﺾ ﻋﺘﺮﺓ ﻧﺒﻴﻪ , ﻭﺍﻟﻤﺆﺫﻱ ﺟﻴﺮﺍﻧﻪ .
“Sesungguhnya Alloh swt membenci orang yang makan di atas batas kekenyangannya, orang yang lali dari melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya, orang yang mencampakkan sunnah nabinya, orang yang menremehkan tanggungjawabnya, orang yang membenci ithroh (keturunan) nabinya dan mengganggu tetangganya”. [16]
7. ALLOH SWT MENGHARAMKAN SURGA KEPADA ORANG YANG MENDZOLIMI PARA HABAIB
Rosululloh SAW bersabda :
ﺇﻥّ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺮّﻡ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
“Sesungguhnya Alloh swt mengharamkan surga kepada orang yang menzhklimi ahlu baitku.” [17]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺣﺮّﻣﺖ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ﻭ ﺁﺫﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻋﺘﺮﺗﻲ
“Surga diharamkan bagi siapa saja yang menzholimi ahlu baitku dan menyakiti aku melalui keturunanku.” [18]
Rosululloh SAW bersabda :
ﺍﻟﻮﻳﻞ ﻟﻈﺎﻟﻤﻲ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ , ﻋﺬﺍﺑﻬﻢ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺭﻙ ﺍﻷﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Celakalah siapa saja yang menzdalimi ahlu baitku, mereka akan diadzab bersama orang-orang munafiq di dasar neraka.” [19]
Referensi Kitab
[1] Kanz al-Ummal (12/98)
[2] Faraid al-Simthin (2/256)
[3] Al-Dur al-Mansur (7/349), Fadhail al-Sahabah (2/661)
[4] Dzakhair al-Uqba : 218, al-Showaiq al-Muhriqah : 230.
[5] Jami’ al-Akhbar : 214.
[6] Al-Kasyaf (3/403)
[7] Al-Mu’jam al-Ausath (4/212)
[8] Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (3/162), al-Dur al-Mansur (7/349)
[9] Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (4/392), Majma’ al-Zawaid (7/580)
[10] Al-Mu’jam al-Kabir (11/142), al-Mustadrak ‘Ala Shahihain (3/161)
[11] Al-Mu’jam al-Kabir (3/81)
[12] Ihya al-Mait al-Suyuthi : 53
[13] Dzakhoir al-Uqba : 39
[14] Yanabi’ al-Mawaddah (2/378)
[15] Kanz al-Ummal (12/103)
[16] Ihya al-Mait : 53
[17] Dzakhoir al-Uqba : 20
[18] Tafsir al-Qurthubi (16/22)
[19] Yanabi’ al-Mawaddah (2/326)
Uhibbukum Fillah, Tren Lama yang Terlupakan
Islamedia -"Aku cinta kamu karena Allah"
Cinta, itulah makna singkat yang terkandung di dalam kata-kata tersebut.
Tak hanya sekadar ungkapan lisan, ia membawa sejuta ungkapan, mewakili beribu makna, kebahagiaan. Ruh cinta yang ia bawa begitu kuat, sehingga mampu menghidupkan hati yang kelam, jiwa yang 'mati' dan raga yang haus akan cinta.
Tak banyak ungkapan cinta yang mampu mewakili perasaan. Bahkan penyair pun butuh puluhan bait untuk mengungkapkan cintanya.Tak jarang para pujangga begitu lama berkutat dengan syair-syair rindu, hanya untuk mengungkapkan rasa cintanya. Tetapi, kata-kata ini sungguh memiliki kekuatan. Kekuatan dahsyat yang melebihi jutaan ungkapan cinta, melebihi puluhan bait puisi cinta. Maknanya dalam, begitu dalam sehingga siapapun yang memahaminya pasti cukup untuk menentramkan cintanya.
Sayangnya, kata-kata ini bagi sebagian orang menjadi sosok yang tabu di zaman sekarang. Begitu enggan kita mengungkapkannya. Senantiasa merasa minder untuk mengungkapkannya. Padahal ia dahulu adalah tren, tapi kini terlupakan. Hanya mereka yang benar-benar paham akan kandungan cintanya yang mampu mengungkapkannya. Itulah mengapa kata-kata ini begitu populer dikalangan para sahabat Rasul. Mungkin kalau zaman sekarang sudah menjadi trending topic...
Bahkan kisah tentangnya pun tercantum dalam sebuah hadits.
Ketika seseorang sedang berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, bersamaan dengan itu ada orang yang lewat di hadapan mereka. Lantas ia mengatakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini (yang baru saja lewat). maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan hal tersebut kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Hendaknya engkau utarakan kepadanya”. Maka ia langsung mengejar orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga engkau dicintai olehNya karena engkau mencintai aku karena-Nya). (HR. Abu Daud) Begitu dalam perasaan itu, begitu indah ungkapan itu.
Ungkapan cinta ini bukan sekadar ucapan. Ia mewakili 2 ikatan agung antara makhluk dengan makhluk dan antara makhluk dengan Penciptanya. Cintanya terikat dalam naungan Sang Pengasih. Karena pada kalimat yang demikian itu akan mempertemukan kecintaan di dalam hati, dan seorang insan jika ia mengetahui bahwa engkau mencintainya, maka ia akan membalas cintanya kepadamu. Juga doa yang dibalaskan pada hadits tadi menandakan buah cinta mereka tidak lain hanya untuk mengharap ridha dan kasih dari San Khaliq. Begitulah Rasul sallahu'alaihi wasallam memberi perumpamaan kepada kita tentang kuatnya arti ungkapan cinta, "Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih" (Muttafaqqun'alaih)
Inni uhibbukum fillah, sesungguhnya saya mencintai kalian karena Allah.
Ungkapan yang tidak hanya bisa menyatukan hati saudara-saudaranya untuk tetap teguh, untuk tetap tulus, lebih dari itu karena ia yakin hanya ungkapan inilah yang mampu meluapkan seluruh perasaan beliau kepada saudara-saudaranya. Sehingga kata-kata ini menjadi cukup untuk menghembuskan cintanya yang begitu besar.
Saudaraku, sudah cukup kita tenggelam dalam pengaruh musuh-musuh islam. Karena kebencianlah mereka menghapus cinta itu diantara kita. Karena dengkilah mereka menjadikan cinta itu buta diantara kita, sehingga kita saling beradu pandang dan saling menuduh, berpecah belah. Berapa besar cinta sejati yang sudah kita sampaikan kepada saudara kita?
Inni uhibbukum fillah, sesungguhnya saya mencintai kalian karena Allah. Karena hanya kata-kata itu yang mampu mewakili perasaan cintaku kepada kalian.
Cinta, itulah makna singkat yang terkandung di dalam kata-kata tersebut.
Tak hanya sekadar ungkapan lisan, ia membawa sejuta ungkapan, mewakili beribu makna, kebahagiaan. Ruh cinta yang ia bawa begitu kuat, sehingga mampu menghidupkan hati yang kelam, jiwa yang 'mati' dan raga yang haus akan cinta.
Tak banyak ungkapan cinta yang mampu mewakili perasaan. Bahkan penyair pun butuh puluhan bait untuk mengungkapkan cintanya.Tak jarang para pujangga begitu lama berkutat dengan syair-syair rindu, hanya untuk mengungkapkan rasa cintanya. Tetapi, kata-kata ini sungguh memiliki kekuatan. Kekuatan dahsyat yang melebihi jutaan ungkapan cinta, melebihi puluhan bait puisi cinta. Maknanya dalam, begitu dalam sehingga siapapun yang memahaminya pasti cukup untuk menentramkan cintanya.
Sayangnya, kata-kata ini bagi sebagian orang menjadi sosok yang tabu di zaman sekarang. Begitu enggan kita mengungkapkannya. Senantiasa merasa minder untuk mengungkapkannya. Padahal ia dahulu adalah tren, tapi kini terlupakan. Hanya mereka yang benar-benar paham akan kandungan cintanya yang mampu mengungkapkannya. Itulah mengapa kata-kata ini begitu populer dikalangan para sahabat Rasul. Mungkin kalau zaman sekarang sudah menjadi trending topic...
Bahkan kisah tentangnya pun tercantum dalam sebuah hadits.
Ketika seseorang sedang berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, bersamaan dengan itu ada orang yang lewat di hadapan mereka. Lantas ia mengatakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini (yang baru saja lewat). maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan hal tersebut kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Hendaknya engkau utarakan kepadanya”. Maka ia langsung mengejar orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga engkau dicintai olehNya karena engkau mencintai aku karena-Nya). (HR. Abu Daud) Begitu dalam perasaan itu, begitu indah ungkapan itu.
Ungkapan cinta ini bukan sekadar ucapan. Ia mewakili 2 ikatan agung antara makhluk dengan makhluk dan antara makhluk dengan Penciptanya. Cintanya terikat dalam naungan Sang Pengasih. Karena pada kalimat yang demikian itu akan mempertemukan kecintaan di dalam hati, dan seorang insan jika ia mengetahui bahwa engkau mencintainya, maka ia akan membalas cintanya kepadamu. Juga doa yang dibalaskan pada hadits tadi menandakan buah cinta mereka tidak lain hanya untuk mengharap ridha dan kasih dari San Khaliq. Begitulah Rasul sallahu'alaihi wasallam memberi perumpamaan kepada kita tentang kuatnya arti ungkapan cinta, "Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih" (Muttafaqqun'alaih)
Inni uhibbukum fillah, sesungguhnya saya mencintai kalian karena Allah.
Ungkapan yang tidak hanya bisa menyatukan hati saudara-saudaranya untuk tetap teguh, untuk tetap tulus, lebih dari itu karena ia yakin hanya ungkapan inilah yang mampu meluapkan seluruh perasaan beliau kepada saudara-saudaranya. Sehingga kata-kata ini menjadi cukup untuk menghembuskan cintanya yang begitu besar.
Saudaraku, sudah cukup kita tenggelam dalam pengaruh musuh-musuh islam. Karena kebencianlah mereka menghapus cinta itu diantara kita. Karena dengkilah mereka menjadikan cinta itu buta diantara kita, sehingga kita saling beradu pandang dan saling menuduh, berpecah belah. Berapa besar cinta sejati yang sudah kita sampaikan kepada saudara kita?
Inni uhibbukum fillah, sesungguhnya saya mencintai kalian karena Allah. Karena hanya kata-kata itu yang mampu mewakili perasaan cintaku kepada kalian.
Selasa, 02 Januari 2018
Mencium Kedua Ibu Jari Dan Mengusapkannya Pada Kedua Alis ..
ratibalhaddad.wordpress.com
Apa sebabnya para Salaf kita kalau mendengar adzan ketika sampai pada lafadz: “Assyhadu anna muhammadarrosulullah”
para salaf kemudian mencium kedua jari ( Ibu Jarinya )jempolnya dan
mengusapkan ke kelopak mata dengan mengucapkan: “marhaban bi habibi wa
qurrotul ‘aini” ?
Diceritakan bahwa Nabiyullah Adam As heran melihat malaikat yang
selalu membuntuti-nya dari belakang, sehingga Nabiyullah Adam As
bertanya kepada ALLAH SWT: “yaa ALLAH, kenapa mereka selalu mengikuti
ku?”
“Wahai Adam, karena mereka telah tertarik dengan cahaya keturunanmu yang ada di sulbi mu.”
Kemudian Nabiyullah Adam As memohon agar ALLAH memindahkan cahaya yang ada di sulbi nya kedepan.
Maka ALLAH SWT meletakkan cahaya tersebut diantara kedua alis Nabiyullah Adam As.
Maka dengan segera semua malaikat berada di hadapan nabiyullah Adam As.
Maka dengan segera semua malaikat berada di hadapan nabiyullah Adam As.
Nabiyullah Adam As heran dengan kelakuan para malaikat yang memandang wajahnya.
Maka Nabiyullah Adam As kemudian memohon agar di perkenankan melihat cahaya itu.
Maka Nabiyullah Adam As kemudian memohon agar di perkenankan melihat cahaya itu.
Maka ALLAH SWT menampakkan cahaya tersebut pada kuku kedua ibu jari Nabiyullah Adam As.
Nabiyullah Adam As pun heran melihat keindahan cahaya itu, dan berkata:
Nabiyullah Adam As pun heran melihat keindahan cahaya itu, dan berkata:
“Ya ALLAH, cahaya siapakah ini?”
kemudian ALLAH SWT Menjawab:
“Itu adalah ‘Nuur Muhammad’. Wahai adam: Kalau tidak karena Nuur Muhammad, maka tidak akan AKU ciptakan Bumi dan Langit dan semua isinya.” Lalu ALLAH SWT menyebutkan keagungan keagungan Rasulullah Saw, maka Nabiyullah Adam As sangat gembira sekali dengan Nuur Muhammad yang ada pada dirinya.
kemudian ALLAH SWT Menjawab:
“Itu adalah ‘Nuur Muhammad’. Wahai adam: Kalau tidak karena Nuur Muhammad, maka tidak akan AKU ciptakan Bumi dan Langit dan semua isinya.” Lalu ALLAH SWT menyebutkan keagungan keagungan Rasulullah Saw, maka Nabiyullah Adam As sangat gembira sekali dengan Nuur Muhammad yang ada pada dirinya.
Maka Nabiyullah Adam As mencium jempol nya dan mengucapkan: “Marhaban
bi habibi wa qurrotul ‘aini” kemudian diusapkan cahaya tersebut di
kedua matanya.
آللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ
KETAMPANAN BAGINDA BESAR NABI MUHAMMAD ﷺ
Di dalam Kitab Al-Mahabbah karya Imam Ghozali disebutkan bahwa Imam Muhammad bin Asy’ats berkata pada masa Nabi Yusuf ‘Alaihissalam,
penduduk Mesir pernah hidup selama empat bulan tanpa makanan.
penduduk Mesir pernah hidup selama empat bulan tanpa makanan.
Jika mereka lapar, mereka cukup memandang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam
sehingga ketampanannya menjadikan mereka lupa akan rasa laparnya.
Bahkan ada yang lebih dari itu.
Bahkan ada yang lebih dari itu.
Pernah terjadi di mana sekumpulan perempuan mengiris-ngiris jarinya
tanpa terasa, karena takjub melihat ketampanan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Di lain keterangan, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam
Kitabnya, Muhammad Insanul Kamil, mengatakan bahwa persentase
ketampanan, keindahan dan keelokan yang ALLAH Ta’ala turunkan ke alam
ini dibagi menjadi beberapa bagian, dengan rincian :
50% untuk Nabi Muhammad ﷺ,
25 % untuk Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, dan sisanya 25% lagi dibagikan kepada seluruh alam raya beserta isinya yang meliputi keindahan alam, keelokan hewan, ketampanan dan kecantikan manusia, dan lain sebagainya.
25 % untuk Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, dan sisanya 25% lagi dibagikan kepada seluruh alam raya beserta isinya yang meliputi keindahan alam, keelokan hewan, ketampanan dan kecantikan manusia, dan lain sebagainya.
Baik Nabi Muhammad ﷺ maupun Nabi Yusuf ‘Alaihissalam sama-sama tampan
dan mempesona siapapun yang melihat, mereka juga sama-sama diberi 10
hijab dari cahaya guna menjaga penampilannya dari fitnah.
Hanya bedanya semua hijab Nabi Yusuf ‘Alaihissalam telah dibuka semenjak di dunia,
sedangkan Nabi Muhammad ﷺ baru satu yang dibuka, sisanya akan dibuka dan ditampakan kelak di surga.
Karena jika semua hijab beliau dibuka semenjak di dunia, orang-orang akan tanpa sadar
mengoyak-ngoyak jantungnya karena tak kuasa menahan takjub melihat beliau.
sedangkan Nabi Muhammad ﷺ baru satu yang dibuka, sisanya akan dibuka dan ditampakan kelak di surga.
Karena jika semua hijab beliau dibuka semenjak di dunia, orang-orang akan tanpa sadar
mengoyak-ngoyak jantungnya karena tak kuasa menahan takjub melihat beliau.
اللهم صل على سيدنا و حبيبنا و شفيعنا و قرة أعيننا و مولانا محمد وعلى آله وصحبه وسلم..
اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى اله….
اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى اله….
Sumber :
Kitab Al-Mahabbah karya Imam Ghozali.
Kitabnya, Muhammad Insanul Kamil karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.
ratibalhaddad.wordpress.com
Pengasuh Blog
Lahir dan tinggal di Pangandaran Jawa Barat.Mengeyam
pendidikan Pondok Pesantren dan formal sampai jenjang Pasca Sarjana. Disela
kesibukan saya sebagai Dosen dan Mengelola Pesantren,Yayasan Pendidikan serta
STIT NU Pangandaran dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah & Aqidah (STISA) Ash Shofa Tasikmalaya dan aktif di berbagai organisasi seperti NU,MUI,PDMA,BKPRMI,JATMAN,JATMI dan PPTI/AMTI, juga tetap aktif belajar/mengaji dan
mengajar ilmu agama dan mendalami serta berusaha mengamalkan Thoriqoh Tijaniyah.Blog
ini tercipta karena saya ingin menambah persahabatan salah satunya dan intinya
mau mengembangkan Majelis Dzikir & Ilmi Fathurrobbani (Zawiyah Fathurrobbani) dengan inti
pelajarannya menyebarluaskan Amalan Thariqah At Tijaniyyah dimana untuk
mendapatkan ijazah ini harus bertemu langsung dengan saya.
Dan perlu anda ketahui bahwa Thariqah Tijaniyyah ini
banyak sekali keutamaannya.Melalui blog ini bukan maksud saya mau menggurui
atau sok pintar tapi sebagai ajang saling berbagi pengetahuan.Ada sebuah
nasehat yang pernah diucapkan alhabib abdurrahman bin abdullah bilfaqih “Carilah
alim ulama itu ahlul sirr bukan ahlul hikmah”.Banyak orang yang mengajarkan
anda untuk sakti tapi hanya sedikit yang mengajarkan untuk dekat dengan Allah
dan Rasul-Nya.
Dan Ijazah Thariqah Tijaniyah baik Ijazah Talqin ataupun Taqdim ini saya dapatkan dari para
Muqoddam dan Masyayikh Thariqah Tijaniyyah diantaranya adalah dari Syaikh Dadang Ridwan Badruzaman,Al Habib Anwar bin Muhammad Ath Thoyyib,Syaikh Ansori Umar Baidlowi,Syaikh Ahmad Bakar Niyas (Cucu Shohibul Faidhoh Syaikh Ibrohim Niyas),Syaikh Muhammad Mudatsir Husaini,Syaikh Musa Al Khairy,Syaikh Muhammad Basyir Cisse, Sayyid Syaikh Shalahuddin At Tijani dan juga mendapat Ijazah
langsung dari Cucu Sayyidi Syaikhuna Ahmad bin Muhammad At Tijani yaitu as Syarif
Syaikh Mohammad Basyir bin Sayyidina ‘Alal At Tijani dari Mauritania.Adapun
saat ini saya tinggal beserta keluarga saya di Pesantren Bahari Fathurrobbani
Jln. Pantai Barat Batu Hiu No.9 Ciliang Kec. Parigi Kab. Pangandaran Jawa Barat
Nomor HP. 081323776333 / 085862222848 / 082130727373 atau melalui email : daseptidjani@gmail.com.
Pengasuh Blog
Tijaniyah Pangandaran
Al Faqir Wal Haqir Dasep S Ubaidillah bin Abdul
Rahman
Langganan:
Postingan (Atom)