- Mengamalkan tarekat ini seumur hidup.
Tarekat tijaniyah ini tidak boleh dicampuradukkan dengan tarekat lainnya
atau award-awrad lain. Awrad-awrad yang lainnya harus ditinggalkan sehingga
kelak dapat memberikan perhatian yang penuh padanya (award Tarekat Tijani). Tak
diragukan lagi, barang siapa yang meninggalkan suatu perkara untuk bersiteguh
pada perkara lain maka ia akan berbuat yang terbaik untuknya.
- Tidak menziarahi wali baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia dengan tujuan istimdad atau tabarruk (mangharapkan manfaat ruhani ataupun keberkahan) kecuali atas izin syeikhnya.Serta tidak berkeyakinan haram atau makruh berziarah kepada yang lain dengan tetap mencintai para auliya' serta memuliakan mereka.
Hal ini telah disepakati oleh para ulama tarbiyah dalam setiap tarekat,
diantaranya: Sayyidi Muhyiddin Ibn 'Araby, Sayyidi 'Ali al-Khowwass, Ibn Hajar
al-Haitami, Imam Sya'roni, Syeikh Zarouq, Syeikh Samnawady, ad-Dardir, Sraisyi,
Ibn Banna al-Syaraqusthi, Ibn 'Ajibah, Sayyidi 'Abdil 'Aziz ad-Dibaghi, Syeikh
al-Kattani, Imam al-Faasy, Syeikh Muhammad bin 'Abdillah al-Khoni al-Kholidi, al-Naqsyabandy,
dan yang lainnya.
Ulasan singkat ini tidak lain ialah sebagian dari adab ahlit tarbiyah.
Karena hakikatnya Syeikh Ahmad Tijaniy layaknya sang dokter yang mengetahui
kebaikan untuk pasiennya. Sayyidi Ahmad Tijany QS telah memberikan izin umum
dalam menziarahi para sahabat Nabi Saw, para ikhwan dalam Tarekat Tijani, dan
kiranya tidak perlu disebutkan bahwasanya para Nabi lebih utama daripada yang
lainnya untuk diziarahi dan istimdad (meminta manfaat ruhani)
- Mengamalkan wirid hingga wafat.
Wirid lazim ini tidak akan diberikan kecuali bagi orang yang siap
mengamalkannya sepanjang hidup, sehingga ia menjadi wajib layaknya
ibadah-ibadah lain yang dinadzarkan.
Barang siapa yang berkeinginan untuk keluar dari Tarekat Tijaniyah, maka
terputuslah hubungannya dengan syeikh dan ia berdosa karena menepati suatu
nadzar adalah wajib. Lain halnya dengan wiridan-wiridan yang tidak dinadzarkan,
tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Hikmah dari wiridan yang dinadzarkan; akan diganjar sama seperti pahala
fardlu, para Auliya' banyak yang memperbanyak pahala dengan jalan ini, diantaranya
Imam el-Abashirie RA yang berkata:
Aku tidak pernah mengerjakan yang nafilah sebelum aku wafat,
aku tidak Shalat dan tidak juga
puasa kecuali yang fardlu.
Hal ini dikarenakan ia bernadzar
untuk mengerjakan suatu yang nafilah sehingga diganjar pahala fardlu.
Sebagian ahli tarekat berkata: Diantara sebab tingginya masyrab (baca:
sumber keruhanian) kita, ialah amalan kita diganjar dengan ganjaran wajib atau
fardlu, maka yang nawafil tidaklah menjadi pahala nawafil.
- Tidak mencela, membenci, memusuhi Syeikh Ahmad bin Muhammad at Tijani atau merendahkan kehormatannya.
Perbuatan ini dapat membuatnya keluar dari Tarekat Tijani. Salah satu tanda
memandang rendah Syeikh QS ialah tidak mengindahkan/peduli lagi dengan perintah
ataupun larangan, hal ini seperti yang tertera dalam kitab Jawahirul Ma'any.
- Mencintai Syeikh tanpa henti
Barang siapa yang sudah tidak lagi mencintai Syeikh, maka terputuslah
hubungannya dengan syeikh sekalipun tanpa niat membenci, dengki atau
menyakitinya.
Kita harus meyakini dan mempercayai semua perkataan Syeikh, karena semua
itu bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah, begitu pula pada semua Auliya'.
Seseorang yang menghormati dengan tidak meyakini dan mendustakan keberadaan
seseorang itu, ia tidak dinilai serbagai murid. Hubungan ruhani ini akan
terjalin apabila seorang murid tidak lagi ragu untuk menerima perkataan orang
yang jujur dan terpercaya dalam perkara yang diperbolehkan sesuai dengan
syariat.
Barangsiapa yang melanggar salah satu dari syarat-syarat ini, maka
terputuslah hubungannya dengan Syeikh, diangkat izin/ ijazah untuk mengamalkan
tarekatnya hingga ia bertaubat dengan sungguh-sungguh dan memperbaharui ijazah
tarekatnya.
Tak dipungkiri lagi bahwa mendustai perkataan orang yang jujur dan
terpercaya dalam masalah yang perbolehkan syara' itu tidak dibenarkan. Syariat
bahkan telah memerintahkan kita agar mencintai orang-orang yang sholeh, begitu
juga dengan semua kaum muslimin. Kita juga dilarang untuk membenci dan
menyakiti mereka selama mereka dalam kebenaran. Nah, bagaimana halnya dengan
orang yang bernadzar/berjanji terhadap dirinya sendiri untuk bergaul dengan orang yang sholeh dan
terpercaya!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar