"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Sabtu, 22 September 2018

Bertarekat Itu Mengasyikan

Dewasa ini perkembangan tarekat-tarekat sufi di negara-negara dunia mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Meski di sisi lain, acap kali praktik-praktik tarekat sufi sering mendapat kritikan pedas bahkan ada anggapan bernada miring oleh sebagian umat muslim.
Tudingan-tudingan miring ini disebabkan ketidaktahuan mereka tentang prakik-praktik tarekat sufi.
Karena mereka mendapatkan informasi dari hanya membaca tulisan-tulisan pemikir atau membaca buku-buku saja tanpa terjun langsung dalam praktik tarekat.
Tuduhan tersebut tegas ditolak oleh Azyumardi Azra (1999), yang menyatakan bahwa justru tokoh-tokoh sufilah yang menuntun umat menjadi lebih progresif di dalam berbagai hal kebaikan dan agresif dalam menolak segala kemungkaran dengan cara-cara yang lebih rahmat.
Dengan bertarekat, para salikin akan dituntut oleh mursyidnya untuk beribadah kepada Allah SWT dengan benar.
Baik secara syariat, tarekat, dan hakikat.Karena tidak ada satupun syaikh tarekat yang menyuruh muridnya untuk meninggalkan syariat dan mengamalkan hakikat saja.
Kalaupun ada, maka golongan ini dinamakan dengan mutashowsif atau pseudo sufi (sufi gadungan) karena ulama-ulama tasawuf sering mendengungkan ungkapan;
"Barang siapa berfikih tidak berhakikat, maka fasiq dan barangsiapa berhakikat tanpa berfikih, maka zindiq".
Pseudosufi adalah orang yang sudah masuk ke dalam dua syair di atas dan acapkali tuduhan miring tentang praktik-praktik sufi dan kepada orang-orang sufi muncul dari sini.
Di dalam tarekat terdapat Syaikh Mursyid (guru)/muqoddam, zikir dan salikin (penganut tarekat).
Jika guru diibaratkan dokter, zikir adalah obat, maka salikin adalah pasien-pasien yang sakit dan ingin disembuhkan penyakit-penyakit hati dan batinnya.
Dengan mengikuti bimbingan guru, diharapkan para salikin bisa menjadi muslim yang progresif, lebih peka terhadap masalah-masalah umat.
Di samping itu juga engaplikasian ibadah-ibadah syariat seperti shalat, puasa, zakat, haji lebih dimotivasi untuk lebih giat dan benar dibawah bimbingan sang guru atau mursyid/muqoddam.
Mursyid/muqoddam bukanlah sembarang guru. Ia adalah orang-orang yang memiliki dua ciri lahir, yaitu rahmatan dari Allah dan ilmu laduni.
Seperti disebutkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 65 menerangkan; "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS. al-Kahfi: 65).
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa bertarekat itu mengasyikkan (enjoy) sebagai sarana bagi seseorang yang berusaha untuk ingin lebih memantapkan dan menggiatkan di dalam ibadah syariatnya supaya benar, baik secara lahiriah (memenuhi syarat dan rukun-rukunnya) dan juga batiniah (tarekatnya beribadah untuk mencari ridla Allah SWT, hakekatnya hanya Allah lah semata yang menggerakkan kita), sehingga terjadi singkronisasi antara keduanya; lahir dan batin.
Jadi tidaklah benar tuduhan-tuduhan miring dari sebagian orang yang mengatakan bahwa praktik-praktik sufi tarekat itu adalah sesat, bid’ah dan kehidupan bersufi hanya membawa kemunduran agama dan kehidupan berbangsa.
Sebaliknya, bila kita melihat sejarah Syaikh Arsyad al-Banjari, ulama terkemuka Indonesia abad ke-18 M yang terjun langsung bersama Sultan Agung Tirtayasa Banten dalam memimpin peperangan melawan kolonial Belanda, sehingga ia ditangkap dan harus diasingkan ke Ceylon Srilangka. Kemudian, karena masih dianggap berbahaya beliau diasingkan ke Kapeton (Tanjung Harapan) Afrika Utara.
Demikian juga halnya Syaikh KH. Ahmad Rifai bin Muhammad Markhum, Pahlawan Nasional, adalah tokoh ulama kharismatik di Jawa abad ke-19 M yang telah berhasil menanamkan kebenaran di hati murid-muridnya tentang keharusan ingkar terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sehingga, ulama produktif ini (karena telah menulis lebih dari 62 judul kitab tentang Ushul, Fiqih, Tasawuf madzhab Syafii berbahasa Jawa dan Melayu) harus dipenjara kemudian diasingkan ke Batu Merah Ambon Maluku, terus dibuang sampai Kampung Jawa Tondano Minahasa bersama Kiai Modjo.
Bahkan Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asyari, Pahlawan Nasional dan juga sebagai ulama kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama ini adalah murid KH. Kholil Bangkalan Madura yang setia pada jalan tarekat.
Masih banyak lagi ulama tokoh sufi terkemuka di Indonesia yang ternyata adalah penganut tarekat atau bahkan Syaikh tarekat itu sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar