Pengertian Dzikir
Ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi menyebut kata dzikir dalam beragam makna.
a. Dzikir (dzikir) adalah al Qur’an, sebagaimana terekam dalam surat al Hijr ayat9
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.
b. Dzikir adalah shalat jum’at, sebagaimana tertera dalam al Qur’an dalam surat al Jumu’ah ayat 9.
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian menuju dzkir
kepada Allah.
c. Dzikir diartikan sebagai ilmu, sebagaimana terekam dalam al Qur’an surat al Anbiya’ ayat 7.
Kami tiada mengutus Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa
orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang dimaksud dzikir adalah ilmu tentang yang halal dan yang haram.”
Dzikir adalah lafal musytarak (memiliki lebih dari satu makna), mencakup
ilmu, shalat, al Qur’an dan dzikir kepada Allah. Tetapi yang dijadikan
sebagai patokan dalam lafal musytarak adalah makna yang paling banyak
digunakan berdasarkan kebiasaan. Kebanyakan dalam teks al Qur’an dan
Hadits, kata dzikir dimaksudkan sebagai tasbih, tahlil, takbir, dan
shalawat kepada Nabi. Allah berfirman dalam surat an Nisa’ ayat 103,
“Apabila kalian sudah menyelesaikan shalat, maka berdzikirlah kalian
kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”
Sedangkan makna selain itu harus disertai dengan petunjuk keadaan atau
lafal. Lafal dzikir paling banyak digunakan dalam arti dzikir kepada
Allah. Jarang sekali lafal ini dimaksudkan sebagai ilmu sebagaimana
dalam firman Allah, “Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang-orang
yang berilmu).” Maksud dari dzikir di sini adalah ilmu, karena adanya
petunjuk, yaitu pertanyaan. (Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf)
Dzikir diartikan dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir salawat dan baca
al Qur’an ialah seperti firman Allah dalam surat al Anfal ayat 45, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka
berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya.”
Dan firman Allah dalam surat al Muzammil ayat 8, “Sebutlah nama Tuhanmu,
dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, Allah telah berfirman, “Aku bersama hamba-Ku selama dia berdzikir kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.”
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, dan Hakim) dan hadits yang
diriwayatkan dari Abdullah ibn Bisr bahwa seorang laki-laki berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya syari’at-syari’at islam itu terlalu banyak
bagiku. Maka beritahukanlah kepadaku sesuatu yang aku dapat berpegang
teguh dengannya.” Beliau menjawab, “Selama lisanmu masih basah menyebut Allah.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Ibnu Athaillah, “Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus bersama Allah.”
Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara
berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya,
salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat
mendekatkan diri kepada Allah.
Fungsi Dan Kedudukan Dzikir
Dzikir merupakan dasar untuk setiap maqam yang dibangun di atasnya,
sebagaimana fondasi adalah landasan yang akan didirikan di atasnya
serupa dinding, bangunan, dan atap. Dzikir membuahkan maqam-maqam dan
ahwal yang diupayakan oleh para salik. Karena tidak ada jalan lain untuk
meraih buah dzikir kecuali dari pohon dzikir. Setiap kali pohon itu
tumbuh besar, maka akarnya akan semakin kuat dan buahnya akan semakin
banyak.
Apabila seorang hamba asyik dan tenggelam dengan kelalaiannya, maka dia
tidak mungkin dapat menempuh tingkat-tingkat perjalanan yang
mengantarkannya untuk sampai kepada makrifatullah. Seseorang tidak akan
terhindar dari kelalaiannya kecuali dengan dzikir. Lalai berarti tidur
atau matinya hati. Ketaatan para sufi terhadap perintah Tuhan ialah
mereka memperbanyak dzikir kepada-Nya, dzikir menjadikan kehidupan
mereka seperti kehidupan para malaikat, sehingga dunia tidak pernah
terlintas dalam hati mereka, dan tidak melupakan mereka dari berhubungan
dengan kekasih mereka, yaitu Allah Swt. Bahkan mereka melupakan
kepentingan diri dengan bersimpuh lama-lama di hadapan Tuhan mereka.
Mereka melenyapkan segala sesuatu selain-Nya. Mereka selalu mengingat
Allah di mana pun mereka berada dalam keadaan berdiri, berjalan, duduk,
dan berbaring sebagaimana diungkapkan oleh Allah dalam surat Ali Imran
ayat 191
Yang mengingat Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil
berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil
berkata): “Hai Tuhan kami ! Engkau tidak jadikan ini (semua) tidak
sia-sia ! Maha Suci Engkau ! Lantaran itu, peliharalah kami (dari pada)
siksa neraka.
Seorang sufi senantiasa berzikir kepada Tuhannya di setiap situasi dan
kondisinya. Dengan dzikir itu dadanya menjadi lapang, hatinya menjadi
tenang dan rohnya menjadi luhur. Sebab, dia meraih keuntungan dengan
menjadi teman duduk Tuhannya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Ahli
dzikir kepada-Ku adalah teman duduk-Ku (HR. Ahmad)”
Orang yang mengenal Allah adalah orang yang senantiasa tekun berzikir
dan memalingkan hatinya dari kesenangan-kesenangan dunia yang fana,
sehingga Allah menjaganya dan melindunginya dari semua urusannya. Hal
ini tidak mengherankan. Sebab barang siapa bersabar, dia pasti akan
berhasil. Dan barang siapa yang terus mengetuk pintu, maka pintu itu
akan dibukakan baginya.
a. Menurut Abu Qasim al Qusyairi
Imam Abu Qasim al Qusyairi mengatakan, “Dzikir adalah lembaran
kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan
yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Tidak ada sesuatu
setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan
bersumber darinya.”
Dia juga berkata, “Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju
al Haq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang
tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir.”
b. Menurut Ibnu Qayim al Jauziah
Ibnu Qayim berkata, “Tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti
halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir
dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin yang bersih.
Apabila seseorang meninggalkan dzikir, maka hatinya akan berkarat. Dan
apabila dia berzikir, maka hatinya menjadi bersih.
Berkaratnya hati disebabkan dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang
dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istigfar dan dzikir.
Barang siapa yang lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya
akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Apabila hati
berkarat, maka segala sesuatu tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan
faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat
kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu
bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak
tergambar sebagaimana adanya.
Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya
menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak
dapat mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat.
Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikuti hawa nafsu.
Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya. Allah berfirman
dalam surat al Kahfi ayat 28 yang artinya : “Dan janganlah engkau
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.”
c. Menurut Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tasawwuf, Ahmad Zaruq mengatakan, “Keistimewaan itu
terdapat dalam ucapan, perbuatan dan benda-benda. Dan keistimewaan yang
paling agung adalah keistimewaan dzikir. Sebab, tidak ada amal anak Adam
yang paling dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain dzikir
kepada-Nya. Allah telah menjadikan segala sesuatu seperti minuman.
Masing-masing memiliki manfaat khusus. Dengan demikian, setiap yang umum
dan yang khusus harus diperhatikan sesuai dengan kondisi setiap orang.”
d. Menurut Ahmad Ibn Ujaibah
Ahmad ibn Ujaibah berkata, “Tidak akan terbuka pintu maqam ridla bagi
seorang hamba melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase
awal perjalanannya, yaitu :
- Dia tenggelam dalam nama tunggal (Allah). Dzikir dengan nama tunggal ini hanya khusus bagi orang-orang yang telah mendapat izin dari seorang mursyid kamil.
- Dia bergaul dengan orang-orang yang berzikir
- Dia konsisten dalam mengerjakan amal saleh, dan bersih dari noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa Nabi Muhammad Saw
Kesimpulannya, para pendidik spiritual dan para mursyid kamil telah
menasihati para salik selama dalam perjalanan mereka menuju Allah dan
telah menjelaskan kepada mereka bahwa jalan praktis yang dapat
mengantarkan mereka untuk sampai kepada Allah dan mencapai ridla-Nya
adalah memperbanyak dzikir di setiap keadaan dan bergaul dengan
orang-orang yang berdzikir. Sebab, jiwa orang-orang yang berdzikir dapat
memutuskan hawa nafsu yang senantiasa mengajak kepada kejahatan. (Abdul
Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm. 98-100)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar