Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan
barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at, maka ia kafir
zindik.
– Imam al-Ghazali
Alkisah,
ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua
tangan-Nya, ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis
memeriksa isi jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,”
kata Setan, “hanya tanah liat dengan rongga-rongga, gumpalan-gumpalan,
cairan kental dan tulang-tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan
Ruh-Nya ke jasad itu—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama-nama
segala hal” (Q.S. 2:31), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas
perintah Tuhan, kecuali, tentu saja, Iblis.
Manusia pertama-tama mengenal dirinya
sendiri melalui narasi, kisah, dongeng. Melalui “nama-nama segala hal”,
Adam mengenal dirinya, mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi
banyak hal tentang apakah yang diajarkan oleh Tuhan dalam “nama-nama
segala hal” itu. Tetapi ada satu pesan yang sangat jelas: melalui
“nama-nama segala hal” itulah Adam (manusia) ditempatkan lebih mulia
ketimbang makhluk yang tak mengenal “nama-nama segala hal” meski
makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena itulah manusia diangkat
menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun pada mulanya ada
keberatan dari para malaikat.
Nama-nama
segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh Adam. Ia
berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam istilah
penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama-nama segala hal berada
dalam a’yan tsabitah (entitas-entitas abadi dan lengkap dalam
pengetahuan Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak).
Saat Tuhan menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu,
entitas-entitas itu pada hakikatnya adalah “kemungkinan
mutlak”—kemungkinan yang senantiasa hadir dalam kemutlakan Tuhan.
Manusia, yang mewarisi “nama-nama segala hal”, adalah salah satu
manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti bahwa diri manusia
beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama Tuhan, dan Tuhan
senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya adalah
perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan. Implikasinya
adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan—karena Tuhan Maha
Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”; karena
Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat semacam
ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih kecil dan
kurang sempurna.
Beberapa
mistikus Islam mengatakan bahwa nama-nama segala hal adalah Firman
Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang
dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam
Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran
dinyatakan, Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah).”
“Kun” oleh para mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami
penciptaan.
Kata Kun ditafsirkan
bermacam-macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-eksistensi (sebelum
ciptaan terwujud—Peny.), nama dengan yang dinamai bukanlah dua unsur
yang terpisah—sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan” Tuhan adalah
keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut. Ketika
Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri,
dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan
ke bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan.
Persoalannya
sekarang adalah ketika “nama-nama segala hal” yang ada dalam aras
(tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia
biasa yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama-nama
segala hal” harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan
realitas bumi tempat manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan
“yang dinamai” terpaksa “dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang
abadi, dan yang abadi tak bisa ditampung oleh yang fana.
“Kata-kata,”
yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi semacam label
untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini menyebut
angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi
semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi
sebentuk “syari’at” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu
kata-kata.
Beberapa mistikus
yang mendalami hakikat kata-kata—dengan metodenya sendiri—berhasil
“menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang dikatakan,
menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang berhasil
mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya dengan
kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga
yang mengubah tanah menjadi emas hanya dengan mengucap adalah
perlambang dari pandangan ini. Atau, bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat
menimbulkan efek transformatif. Dengan kata lain, kata “yang
dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang menghantarkan kita
pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh kata itu.
Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan.
Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan.
Dengan
demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan
menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik
pengetahuan “nama-nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang
diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai,
setelah ia memahami “nama-nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia
akan mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui
“nama-nama segala hal”—yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia
penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni
pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni
pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala
pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi
lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi, demikianlah urutan suluk
(perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam: syari’ah (informasi),
thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi). Lalu Apakah
haqiqah itu?
Esensi atau inti
hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang dirinya bukan
apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pengetahuannya,
kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci dari para
nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam ini.
Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung
kebenaran-kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan
kebenaran-kebenaran lain yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau
begitu, semua kebenaran ini diakui oleh umat mukmin sebagai satu
entitas tunggal, dan kesatuan merekalah yang meniadakan segenap
pemikiran dan pendapat manusia (semata). Karena, kesatuan dari apa-apa
yang dapat dimengerti dengan apa-apa yang tak terjangkau akal manusia
akan melahirkan realitas ketiga yakni realitas yang tak dapat
dimengerti (oleh akal pikiran), tetapi sekaligus juga tidak berada di
luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini; karena
bukan termasuk kategori-kategori ini, maka manusia, dengan pengetahuan
dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini. Manusia (di
dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang
ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat
itu.
—Ibnu Abbad Al-Rondi
—Ibnu Abbad Al-Rondi
Berdasarkan
penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat dikatakan,
seperti ditulis oleh Mason (1995), hakikat (haqiqat) adalah keadaan di
mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat
yang tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat
diserupakan dengan sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap
keberadaan Dzat yang nyata dan serba-meliputi (imanen), namun sekaligus
tak terbandingkan (transendental), maka seseorang tidak boleh
menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di
luar keberadaan dan jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia,
tetapi pada saat yang sama keberadaan-Nya sangat dekat dengan
keberadaan manusia. Di dalam Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat
ketimbang urat lehermu.” Dzat ini membeda-bedakan sekaligus menyatukan
segala sesuatu dalam realitas-Nya yang tak dapat diketahui; dan karena
itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari segala sesuatu. Dalam analisis
terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan sampai pada konsep “kesatuan”
antara Tuhan dan manusia—sebuah keyakinan yang sulit dipahami karena
dalam pandangan ini, jika dipahami hanya dari perspektif tunggal, yakni
perspektif lahiriah semata, maka akan berisiko memunculkan pemahaman
yang bisa memorak-porandakan sistem ajaran Tauhid yang menyatakan
adanya perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya.
Dari
sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami?
Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah
kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini
tak lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi?
Menurut
ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa diraih
manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu saja
ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level
hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan
tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung
melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus
wali jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali
Allah).
Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’at, tarekat dan hakikat. Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah), dan Ihsan (kebajikan dan penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata-aturan Ilahi yang diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Ku: Q.S. adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat) Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al-Haqq (Kebenaran), maka dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran dan kepatuhan (taat) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’at). Hal ini berarti, di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah), dan di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq), Maha Tak Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen). Karena Dia adalah Maha Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan “Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: “Beribadahlah engkau seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jikalau engkau tak melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang makna dari Ihsan.
Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah kebenaran mistis (haqiqah), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at. Dalam analisis terakhir, karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar (haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ah atau Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’rifah). Mendapatkan perpaduan hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul (sampai).
Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami, Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al-Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya, Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut:
Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’at, tarekat dan hakikat. Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah), dan Ihsan (kebajikan dan penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata-aturan Ilahi yang diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Ku: Q.S. adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat) Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al-Haqq (Kebenaran), maka dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran dan kepatuhan (taat) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’at). Hal ini berarti, di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah), dan di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq), Maha Tak Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen). Karena Dia adalah Maha Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan “Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: “Beribadahlah engkau seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jikalau engkau tak melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang makna dari Ihsan.
Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah kebenaran mistis (haqiqah), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at. Dalam analisis terakhir, karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar (haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ah atau Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’rifah). Mendapatkan perpaduan hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul (sampai).
Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami, Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al-Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya, Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut:
Martabat
wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1)
Islam; (2) Iman; (3) Ihsan … Seorang hamba Allah yang sibuk dalam
ibadah [berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal
itu kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan
sunyi daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas,
maka orang itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu
[meningkat lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah
semata (lillahi ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah-olah Allah
melihat dirinya, maka ia berada dalam maqam ihsan atau hakikat …
Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada
lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah membersihkan batin dengan nur
Tauhid dan menggapai ma’rifat.”
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
http://miftah19.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar