"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Rabu, 30 Januari 2013

Gus Dur dan Dzikir/Wirid

KH. Husein Muhammad mengatakan: “Orang-orang  yang dekat dengan Gus Dur bercerita bahwa jika tidak ada teman yang diajak bicara dan beliau sedang sendiri, maka dalam waktu yang sepi itu beliau membaca surah al-Fatihah, entah berapa kali, lalu tawassul kepada Nabi dan berdoa  untuk dirinya sendiri, untuk para wali dan ulama yang telah wafat. Itulah jalan (tarekat) spiritualnya” (dalam Gus Dur Bertahta di Sanubari, hlm. 177).
 Penuturan KH. Husein Muhammad ini dapat dirujuk dan dikonfirmasi juga oleh apa yang dinyatakan oleh KH. Said Aqil Siraj. Ketika di Mekkah, cerita KH. Said Aqil Siraj, dia diajak Gus Dur untuk berkunjung dan mencari makam Imam Ali al-Uraidhi (termasuk sesepuh keturunan Nabi Muhammad), dan mencari seorang waskita di sebuah masjid. Gus Dur mengatakan: “Nanti kita membaca  al-Fatihah seribu kali…” Mereka akhirnya menemukan makam Imam `Ali al-Uradhi di tengah perkebunan kurma. Cerita ini dikemukakan oleh KH. Said Aqil Siraj  di berbagai tempat, termasuk di beberapa acara televisi pasca meninggalnya Gus Dur.

Ada lagi cerita KH. Said Aqil Siraj sebagaimana dimuat dalam Republika (21 November 2007), pada waktu haji di Mekkah Gus Dur memisahan diri dari rombongan. Ketika ditemukan oleh KH. Said Aqil Siraj, Gus Dur tengah berdoa di suatu daerah lapang. Ketika ditanya doa apa yang dibaca, Gus Dur menjawab: “Sedang membaca doa al-Fatihah 1000 kali.” Tampaknya Gus Dur mendawamkan bacaan dzikir surat al-Fatihah ini.
Memang, setiap sâlik memiliki andalan amalan-amalan dan wirid-wirid. Wirid-wirid ini diperoleh dari ijazah para guru, baik secara rohani atau secara fisik. Biasanya mereka ketika masih muda, datang kepada guru-guru di pesantren lalu diberi ijazah untuk membaca ini dan itu. Ijazah-ijazah ini ada yang dilanggengkan oleh para murid, dan ada yang terputus di tengah jalan. Murid yang dianugrahi, ada yang kemudian meramu beberapa ijazah untuk menjadi rangkaian wirid-wirid yang dilanggengkan untuk dirinya dan komunitasnya. Gus Miek dengan wirid-wirid dalam dzikru al-ghâfilîn adalah contoh dari sejenis proses ini.
Gus Dur sendiri tentang amalan wirid mengatakan: “‘Itu biasa, sesuai kebutuhan, kan kiai-kiai suka bilang kepada saya, tolong baca surat ini, tolong baca surat itu dengan puasa sekian hari sebelumnya” (dalam Tabayun Gus Dur, hlm. 174). Apa yang dikemukakan Gus Dur ini merupakan konfirmasi tentang adanya ijazah beberapa laku wirid, meski tidak dijelaskan surat yang dibaca, tetapi penjelasan itu sudah cukup menggambarkan bahwa Gus Dur menjalankan wirid-wirid juga, sebagaimana guru-guru sempurna di kalangan pesantren Nahdliyin.
Wirid membaca surat al-Fatihah dan mengirim al-Fatihah merupakan tradisi yang berkembang di kalangan Alussunnah Waljama’ah, terutama di kalangan masyarakat Nahdliyin. Di desa-desa dan di pesantren-pesantren, saya menemukan dan menyelami praktik ini dilanggengakan oleh bergenerasi-generasi di kalangan Nadhliyin. Dalam tradisi tarekat, membaca surat al-Fatihah juga dilakukan sebelum membaca wirid-wirid tertentu sebagai bagian dari tawassulân. Variasi membacanya tergantung guru-guru yang dijadikan persambungan sanad, yang dijadikan objek untuk dikirimi al-Fatihah. Nabi Muhammad, dalam semua tarekat selalu disebut dan dikirimi al-Fatihah dalam rangkaian tawassulân praktik laku tarekat.
Gus Dur menjadikan bacaan al-Fatihah tidak semata untuk rangkaian tawassulân saja, tetapi sebagai wiridnya itu sendiri. Oleh karena itu, seperti diceritakan di atas, Gus Dur membaca surat al-Fatihah dalam jumlah-jumlah tertentu. Selain tawassulân kepada Nabi Muhammad dan guru-guru sufi lain, kemudian Gus Dur membaca surat al-Fatihah sebagai wirid. Tradisi membaca al-Fatihah sebagai wirid ini, pernah dilakukan konon oleh Imam al-Ghazali dan dijadikan rujukan di dalam tradisi pesantren tertentu, misalnya dalam sehari membaca 100 kali al-Fatihah. Tradisi ini, juga dilakukan dalam bagian dzikru al-ghâfilîn, yaitu rangkaian wirid-wirid yang dilanggengkan di antaranya oleh Gus Miek dan KH. Achmad Shidiq beserta komunitas dzikru al-ghâfilîn.
Para guru sufi mengaitkan pelanggengan wirid-wirid yang dilakukannya sebagai silâh al-mu’min (pedangnya kaum mukmin).  Oleh karena itu Nabi Muhammad sendiri mengajarkan wirid-wirid tertentu kepada umum dan khusus, karena begitu pentingnya wirid-wirid itu bagi kaum muslimin. Kata “umum” di sini maksudnya adalah Rasulullah kadang mengajarkan dzikir tertentu ketika ada orang banyak atau para sahabat, sehingga dimaksudkan untuk umum kaum muslimin. Sedangkan yang dimaksud khusus adalah kadang Nabi Muhammad mengajarkan dzikir tertentu kepada sahabat-sahabat tertentu, tidak dihadiri oleh umum, sehingga para sahabat ini mengamalkannya sendiri-sendiri, sebagai amalan dzikir khususnya. Mereka yang memiliki persambungan sanad tarekat yang sambung menyambung sampai kepada Nabi misalnya, hanya mungkin dipahami dalam kerangka ini, yaitu diajarkan secara khusus oleh Nabi kepada sahabat tertentu, dan kemudian diajarkan sampai kepada generasi-generasi sesudahnya.
Al-Qur’an memberikan anjuran agar kaum muslimin mengingat Allah, termasuk dengan mendawamkan dzikir-dzikir tertentu, semampunya, sebanyak-banyaknya, dan di mana saja. Al-Qur’an menyebutkan demikian: “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali `Imran [3]: 191);  dan “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab [33]: 41-42). Masih banyak lagi anjuran-anjuran untuk berdzikir kepada Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad.
Dalam menjalankan wirid-wiridnya Gus Dur tidak menggunakan ucapan yang keras, tetapi dengan ucapan lembut dan lirih. Meski begitu, di kalangan tarekat hal seperti ini dipilah: mereka yang lebih bisa menyelami dengan menggunakan wirid yang jahr (keras), maka utama menggunakan wirid jahr; sedangkan mereka yang lebih bisa menyelami dengan wirid sirr, maka dia lebih utama dengan menggunakan wirid sirr. Karena perbedaan afiliasi tarekat, kondisi sang sâlik, pencapaian, jenis wirid, dan anugrah Allah diberikan tidak sama, maka setiap sâlik ada perbedaan-perbedaan dalam dzikir yang dibaca. Ini menegaskan jalan menuju Allah berbilang dan beragam.
Yang terpenting dari praktik dzikir adalah menyelami makna dzikir itu sendiri. Makna dzikir dalam suluk adalah ibarat sebuah perahu (atau sejenisnya) yang akan menghantarkan sang sâlik ke tengah lautan/samudra, bila diumpamakan seorang yang mencari mutiara di dasar lautan. Mutiara di dasar lautan di sini adalah perumpamaan cahaya-Nya; dan menemukaan mutiara itu adalah musyâhadah dan mukâsyafah berjumpa dan dianugrahi cahaya-Nya. Perahu itu dibutukan untuk menghantarkan sang sâlik. Dalam perjalanan sang sâlik, dia harus bisa mengatasi segala godaan, kebimbangan, ketakutan, angin kencang yang menderanya, gelombang lautan yang menerpanya, dan lain-lain.
Posisi dzikir bisa juga digambarkan sebagai air yang menyirami pohon mahabbah kalangan sufi kepada Allah. Seorang guru sufi bernama Ahmad bin Masruq mengatakan: “Pohon ma’rifat harus disiram dengan air pikiran, dan pohon kelengahan disiram dengan air kebodohan. Pohon tobat disiram dengan air penyesalan, dan pohon mahabbah, disiram dengan dzikir dan ibadah” (dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 635). Dengan demikian, dzikir adalah salah satu jalan untuk mencapai ma’rifat dan wushul.
KH. Muslih Mranggen dalam al-Futuhât ar-Rabbâniyah (hlm. 78), menyebutkan ada 3 jalan mencapai wushûl kepada Allah, dan salah satunya adalah dzikir khafî, dzikir lembut dalam hati. Amalan-amalan seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain, adalah salah satu yang bisa memperbarui upaya terus menerus dalam meneguhkan dzikir khafî.  Dzikir khafi akan mengantarkan sang sâlik pada peleburan diri, setelah diikuti oleh upaya yang keras mengatasi berbagai godaan, gelombang panas dan dingin, dan angin kecang kehidupan nafsu, disertai pengisian dengan akhlak-akhlak yang baik. Peleburan diri ini adalah peleburan ke dalam Dzat yang dijadikan tujuan, yang dirumuskan di kalangan tarekat Qadiriyan-Naqsyabandiyah dengan munajat “ilâhî anta maqshûdî wa ridhâka mathlûbî a’thinî mahabbataka wa ma’rifataka” (Ya Allah, Engkau adalah tujuanku dan Ridha-Mu adalah yang kucari, berikanlah kepadaku kecintaan-Mu dan kemarifatan-Mu).
Meski begitu, menurut William Chittik, sebagian sufi ada yang menempuh cara meninggalkan dzikir atau wirid, karena menganggap masuk dalam kategori untuk meninggalkan “kecuali Allah”. Pada akhirnya, ketika sudah lebur kepada yang diingat dan yang dituju dzikir itu sendiri hilang, atau ketika tabir diangkat dan sirr sang salik mencapai tingkat sufi untuk bisa menyaksikan dan wushûl  kepada-Nya, dzikir itu sendiri lenyap ke dalam keleburan dengan Allah. Mereka yang meninggalkan dzikir adalah mencari kekosongan total, atau kehampaan total untuk lebur, dan mereka berupaya terus untuk mencari keleburan ini.
Menurut penulis, bagi mereka yang bisa menemukan  musyâhadah dengan keleburan dengan meninggalkan wirid, haruslah dipahami seperti dikatakan Ibnu `Arabi, dcan ini juga dikutip Chittik: “Dzikir tetap lebih baik daripada meninggalkannya, karena orang hanya bisa meninggalkannya selama terjadi penyaksian; sedangkan penyaksian tidak bisa dicapai secara mutlak (Futuhât al-Makkiyah, II: 229.24.). Di sini, peninggalan dzikir itu muncul setelah adanya peleburan dan diangkatnya tabir/hijâb; dan karena momen seperti itu tidak mutlak sepanjang waktu, maka dzikir dianggap lebih baik, karena akan menjadi sarana untuk terus berdekat-dekat dengan-Nya.
Secara lahir mereka yang melanggengkan dzikir khafî, bagi orang awam akan tampak mereka yang menjalaninya: pendiam dan memiliki ketenangan; dan karena  diam, tampaknya secara lahir bagi awam tertentu, dianggap tidak berdzkir, karena bagi mereka ini dzikir adalah gerakan fisik, dan komat-kamit-nya mulut. Pandangan ini, sangat berbahaya kalau dimiliki orang berilmu. Sementara seorang `ârif, akan bisa merasakannya tanpa perlu dalil dan bukti, bahwa dengan dzikir khafî itu akan bisa menjadi pengantar menuju-Nya.
Dzikir khafî, sebagaimana Gus Dur menggunakan metode ini dalam wiridnya, hanya mungkin dilakukan dengan perjuangan keras: menghilangkan ingatan dan ketergantungan kepada selain Allah, dan ini tidak mudah karena orang harus berjuang hebat, bisa memakan waktu cepat atau lambat (tergantung kondisi dan anugrah Allah yang diberikan kepada sâlik) untuk mencapai tahap kelanggengan dan penetapan dzikir khafî ini; dan anugrah Allah bagi penetapan dzikir khafî seperti ini, merupakan kata kunci yang berbarengan dengan perjuangan keras tadi.
Ini disebabkan, karena dalam pencapaian jenjang-jenjang pendakian maqâmât, bagi sufi tidak ada yang murni hasil dari kekuatan sendiri; dan amal-amal semata bukanlah yang menyebabkan perkenan Allah. Sebaliknya, anugrah dan rahmat Allah kepada sang sâlik-lah yang menentukan. Oleh karena itu, memohon pertolongan kepada Allah mutlak untuk menepuh jalan ini, bagi penetapan untuk bisa mendapatkan praktik dan amalan wirid sampai pada tingkat dzikir khafî, dan karenanya tidak ada waktu baginya kecuali mengingat-Nya. [nur khalik ridwan] bersambung.

1 komentar: