Ada
2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu
pertama, kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah at-Thayyib, dan kedua,
adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Tarekat
Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 (antara
1918 dan 1921 M). Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui
adanya gerakan Tijaniyah. Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon
mulanya ber pusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren
ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai
saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh
Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya. Atas perintah KH Abbas
pada 1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin tarekat
Tijaniyah dan bermukim disana selama 3 tahun. Pada bulan Muharram 1346 H
/ Juli 1927 M. KH Anas kembali pulang ke Cirebon. Kemudian, pada bulan
Rajab 1346 H / Desember 1927, atas izin KH Abbas kakaknya, KH Anas
menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH Anas-lah yang merintis dan
memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H Anas mengambil talqin
dari Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula menganut
tarekat Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada
tarekat Tijaniyah dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah
at-Thayyib yang juga mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.
Muktamar
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke 3 tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa
tarekat Tijaniyah adalah Muktabarah dan sah. Diperkuat lagi dengan
Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon yang intinya tetap memutuskan
bahwa Tijaniyah adalah Muktabaroh. Jadi ditinjau dari keputusan NU maka
tarekat Tijaniyah sudah ada di Indonesia sebelum tahun 1928, karena
jikalau belum hadir di Indonesia maka tidak mungkin NU akan membahas
dalam Muktamarnya.
Ulama
yang paling mula menganut tarekat Tijaniyah berdasarkan sejarah adalah
K.H Anas bin Abdul Jamil (Buntet) yang memperoleh ijazah Tijaniyah dari
Syaikh Alfahashim di Madinah dan juga memperolehnya dari Syaikh Ali
Thoyyib, kemudian gurunya Syaikh Ali Thoyyib datang ke Indonesia dan
menyebarkan tarekat Tijaniyah. Diantara ulama Indonesia yang memperoleh
ijazah dari Syaikh Ali Thoyyib adalah :
a. K.H Nuh bin Idris (Cianjur)
b. KH Ahmad Sanusi bin H.Abdurrahim (Sukabumi)
c. KH Muhammad Sujai (Gudang-Tasikmalaya)
d. KH Abdul Wahab Sya’rani (Jatibarang Brebes)
e. KH Abbas, KH Anas dan KH Akyas (Buntet Cirebon)
f. KH Usman Dhomiri (Bandung)
g. KH Badruzzaman (Garut)
e. KH Abbas, KH Anas dan KH Akyas (Buntet Cirebon)
f. KH Usman Dhomiri (Bandung)
g. KH Badruzzaman (Garut)
Keresahan sebuah tarekat
Tarekat
tijaniyah yang dalam wadah NU dihebohkan keabsahannya oleh sebagian
besar anggotanya, tetap memperingati iedul khotmi syekh Ahmad Tijani ra
di Blado Wetan, Sekitar 15 ribu orang membanjiri komplek pesantren
Nahdlatut Thalibin di Blado Wetan, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan
Kraksan, Probolinggo.
Ini
bukan acara unjuk gigi. Tapi kebetulan pada hari itu, 18 Safar, memang
hari peringatan iedul khotmi Syekh Ahmad Tijani ra yang kebetulan
dipusatkan di situ. Umat dengan khidmat mendengarkan ceramah tentang
riwayat Syekh Ahmad Tijani dan keutamaan Tarekatnya, pembicara nya
adalah K.H. Ismail Qamaruz Zaman dari Garut, Habib Ahmad bin Abdullah
Al-Muhdlar dari Bondowoso (simpatisan, bukan orang Tijani), dan K.H.
Muhlas, pimpinan pondok Nahdlatut Thalibin. Yang terakhir ini adalah
tuan rumah dan pimpinan Tijani Jawa Timur.
Namun
tidak seperti haul yang biasanya, Acara yang diselenggarakan di tempat
kediaman K.H. Muhlas, kali ini dimanfaatkan pula untuk membicarakan
kritik-kritik tersebut. para muqaddam Tijani se-Jawa dan Madura
diundang. Kritik paling formal dilontarkan oleh majalah Risalah NU Jawa
Timur, yang menulis sebuah artikel di rubrik Aqidah Syan’ah mengenai
keabsahan Tarekat Tijaniyah. Penulisnya K.H. Anas Thahir Syamsuddin,
penanggung jawab majalah itu, mengupas segi-segi negatif Tijaniyah dalam
tulisan yang berjudul : “Meninjau kembali Keabsahan Tarekat Tijaniyah”.
Diantara
pernyataan syekh Ahmad Tijani ra yang dikritik oleh Risalah NU antara
lain : Syekh Ahmad Tijani menyatakan, “Dua tapak kakiku di atas leher
semua wali, sejak nabi Adam sampai ditiupnya sangkakala (kiamat).” Juga,
menurut Syekh Ahmad Tijani, “Umur semua umat manusia tidak berarti sama
sekali, kecuali bila mereka mau mengamalkan sholawat al-Fatih lima
ughliqo.” Atau “Semua zikir, doa, shalawat yang pernah dibaca oleh semua
orang, jika diamalkan selama seratus tahun dan setiap harinya dibaca
seratus kali, kemudian pahalanya dikumpulkan, semuanya tak bisa
menandingi pahala satu kali saja membaca shalawat al-Fatih lima
ughliqo.” Dan “Sekali saja membaca sholawat al-Fatih lima ughiiqo,
pahalanya bisa menandingi 6,000 kali khatam Quran.” Karena itulah layak
bila, “Kelak di hari kiamat Allah taala tidak akan menghisab (menghitung
amalan dan dosa) pengamal tarekat Tijani, bahkan mereka langsung
dimasukkan ke dalam surga”.
Dalam
tulisannya, K.H. Anas Thahir Syamsuddin, murid K.H. Ali Maksum itu,
menggunakan berbagai kitab rujukan tarekat Tijani. Tentu saja, persoalan
menjadi hangat. Para pengikut Tijani yang kebetulan berlangganan
majalah NU JaTim yang beroplah 7.000 itu terlihat gelisah. Seorang tokoh
Tijani dari Probolinggo, KH. Ahmad Fauzan Fathullah, malah menulis
sebuah diktat 17 halaman, berisi sanggahan, yang kemudian di
sebarluaskan. Heboh Tijani semakin santer. “Tapi yang untung justru
kita,” kata K.H. Mukhlas sambil tersenyum, “Sebab, orang banyak jadi
ingin tahu tentang tarekat Tijani.”
Tentang
doktrin “masuk surga tanpa hisab”, menurut KH Muhlas. “Nabi sendiri
menjamin, siapa saja yang di akhir hayatnya mengucap ‘la ilaha
illallah’, akan masuk surga.” Nabi juga bersabda,” sepertiga umatku akan
masuk surga tanpa hisab.” Tentu saja, Nabi tak pernah mengatakan bahwa
mereka itu pengamal tarekat Tijani.
Ada
lagi tentang shalawat al-Fatih. “Kita tahu,” kata KH Muhlas, “Membaca
shalawat tidak banyak risiko sebagai mana halnya membaca Al-quran, yang
harus tahu tajwid, makhraj, dan sebagainya. Padahal, pahala membaca
shalawat itu dijamin pasti dapat.” Jadi, persoalannya bukan shalawat itu
lebih utama dari Alquran.
Tapi
yang terpenting dalam hal ini ialah masalah sanad sebuah tarekat
“dengan Nabi”, sebagaimana yang dipercayai oleh kalangan Tijaniyin.
Menurut KH Mukhlas, Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani, yang lahir di
‘Ain Madli, Aljazair, 1150 H, dan meninggal di Fez, Marokko, 1230 H (tokoh
peralihan abad 18-19 M), mendapat talkin tarekat dari Nabi Muhammad
sendiri ( bukan talkin dalam mimpi ), seperti yang dituduhkan orang.
“Ini talkin ‘iyaanan yaqzhotan” (terang-terangan dan dalam keadaan
terjaga), atau disebut juga talkin barzakhi. Jadi, kata KH Muhlas, sanad
Tijani asli dari Nabi, tidak terputus. Masalah Anda tidak percaya, itu
soal lain.
Akhirnya,
KH Mukhlas berharap kepada para ulama NU atau para ahli tarekat
mu’tabar NU agar tidak usah mengungkit-ungkit persoalan yang sudah
disahkan oleh para ulama pendahulu NU. “Sebab, ilmu ulama kini masih
belum sebanding dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama terdahulu seperti
K.H. Hasyim Asy’ari.” Itulah pula sebabnya, dalam pertemuan tertutup di
antara para muqaddam Tijani, dibicarakan perlunya mengirim surat kepada
PBNU untuk segera menyelesaikan masalah itu. Dan selain itu, dirasa
perlu memberikan kitab-kitab Tijani kepada para ulama yang belum tahu
betul tentang ajaran ini. Tapi ketika hal itu dikonfirmasikan kepada
K.H. Muhlas, ia menjawab. “Memang, ada pemikiran ke arah itu. Tapi
selalu saya tolak,” Mengapa? “Saya takut suul adab terhadap ulama yang
lainnya. Kalau NU yang memanggil kami, ya, kami akan patuh dan datang.” @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar