Pada awalnya, negara yang
mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat),
dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan
Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta
menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa tarekat
besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini
pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah
dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia.
Shufi
Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah
Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari
kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai
barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam
tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik.
Dalam
syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds,
Baghdad (disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan
ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat
Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi
pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tarekat
Qadiriyah.
Tarekat
Qadiriyah adalah tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa,
pengaruh tarekat ini banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan
menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pernah
datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya.
Indikasi lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah,
adanya pembacaan kitab manaqib syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana.
Pendiri
Tarekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar
Abul Hasan as-Syadzili (w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai
kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani.
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani.
Shufi
lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid
Hamzah Fansuri yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu.
Dia perumus pertama ajaran martabat tujuh di nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga pranayama dari India ). Ajaran martabat tujuh
merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnul-‘Arabi yang sangat populer
di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat
bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap menyimpang.
Syamsudin
sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya
Burhanpuri, bahkan Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di
Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan tahun
kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun 1039 H (1630 M).
Shufi
selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin
bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga
Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang Melayu, ayahnya
imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din.
Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wihdatul wujud. Ia
mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh
orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku
yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan
Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari
lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh
menganut paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki
banyak keahlian, ia menguasai ilmu teologi, fiqh, hadits, sejarah,
perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia mengamalkan
Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu,
selain itu ia juga menganut tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak
menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut aliran tauhid
Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat.
Ar-Raniry
tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua
tarekat yang berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India.
Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di
Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah
Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, syekh Abdul Rauf
Singkel.
Syekh Abdul Rauf
belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya
adalah syekh al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh
Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia
menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang menyeimbangkan
pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan wirid
tarekat Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat
melalui syekh Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin
dari Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di sana.
Al-Qusyasyi
(w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi
intelektual shufi India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh
Zakariya al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab as-Sya’rani dalam bidang fiqh dan
tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah tarekat di India, yang
paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua
tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh
India bernama Sibghatullah pada tahun 1605.
Di
antara kedua tarekat yang diajarkan, ternyata Tarekat Syattariyah
banyak diminati oleh murid-murid dari Indonesia, padahal di Timur Tengah
sendiri, kedua syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut Tarekat
Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan
murid yang berasal dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi,
murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan
berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattariyah, karena tarekat ini
relatif lebih mudah jika dipadu dengan berbagai tradisi nusantara,
sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-bumi”, terlebih lagi ajaran martabat tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Ulama lain yang sezaman dengan syekh Abdul Rauf adalah syekh Yusuf al-Makasari (1626 – 1699) penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah.
Kitab ini memberi kesan bahwa syekh Yusuf benar-benar mengajarkan
tarekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik
meditasi dalam berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah
di Yaman melalui Syaikh Muhammad Abdul Baqi, kemudian berguru lagi
kepada syekh Ibrahim al-Kurani tokoh Naqsyabandi di Madinah. ( walaupun
al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai syaikh Tarekat Syattariyah
yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan
Tarekat Syattariyah di Indonesia ). Selanjutnya di Damaskus, ia berguru
lagi dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan mendapat izin
ijazah untuk mengajarkan tarekat ini. Barangkali beliau-lah orang
pertama yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di
Sulawesi tarekat ini disebarkan oleh salah seorang muridnya yang bernama
Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang
Rappang I Wodi.
Dalam
pengembaraan ilmiahnya, syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh
ijazah dari sejumlah tarekat, di antaranya adalah Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga
pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah,
‘Aydrusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat lainnya. Ketika
pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual, yang
ternyata merupakan gabungan antara teknik spiritual Khalwatiyah dengan
berbagai tekhnik dari tarekat-tarekat lainnya. Dan tarekat ini sekarang
mengakar dan banyak diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di
kalangan para bangsawan Makasar.
Abad
berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan
ajaran syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama
Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan dari tarekat Khalwatiyah,
Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad Samman
mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib
(doa-doa) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu
cabang dari Tarekat Khalwatiyah, karena silsilah syekh Samman hanya
melalui gurunya yaitu syekh Musthafa al-Bakri, pengamal tarekat
Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah tarekat
tersendiri dengan zawiyah sendiri dan dengan pengikut lokal
ketika syaikh-nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal
adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab
penting berbahasa Melayu.
Beberapa
ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga tarekat ini
mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan
Palembang telah menyediakan sejumlah dana yang cukup besar untuk
membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman
wafat, orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat
ini dari khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia
yang menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis al-Banjari dengan
karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia
menyebarluaskan tarekat ini di Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga
mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat Qadiriyah, Syattariyah,
Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.
Tarekat
Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 –
1230 H/ 1737 – 1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan
meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup
pesat dari tarekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas Utsmaniyyah,
sehingga syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair.
Syekh Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana
hingga beliau wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi
kaum shufi dan membenci pengamal tarekat yang cendrung menjauhi dunia
dan suka melestarikan tradisi penghormatan terhadap makam syaik-syaikh
mereka, tarekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan
tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dari raja
Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati syekh Ahmad untuk
menghadapi pesaingnya dari zawiyah para syarif yang dinilai dapat
merongrong kekuasaannya.
Tarekat
Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan
pengikut terutama di pulau Jawa dan Madura. Pengikut tarekat Tijaniyah
berkeyakinan, bahwa tarekat Tijaniyah adalah tarekat yang terbaik,
karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh
tarekat-tarekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan tarekat
ini, nanti akan kami jelaskan secara terperinci di dalam buku ini.
Di
Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat
Khalwatiyah. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga pada
akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah Sammaniyah. Tarekat ini
berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya di
nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis saja.
Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah,
yakni teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi
unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini
merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia
syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah
dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang fiqh, konsep ketuhanan dan
amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut dan menjadi guru
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai tarekat paling populer di
Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873, khalifahnya syekh Abdul Karim
dari Banten menggantikannya sebagai syaikh tarekat ini. Dua orang
khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai Ahmad
Hasbullah dari Madura.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua tarekat yang
memiliki jumlah pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tarekat lainnya
adalah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang tersebar berkat zawiyah
yang didirikan oleh syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais
Makkah. Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi
dan Ali Ridho menyebarkan tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang
mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang lebih besar lagi selama
abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan
menjalani latihan berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula puluhan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya masing-masing.
Tarekat
Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India, yang didirikan oleh syaikh
Mu’inad-Din Chisyti (w. 1236). Awalnya, tarekat ini berideologi Sunni,
(walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum Syiah). Hal ini
terbukti bahwa para pengikut tarekat Chisyti di India menjadikan kitab ‘Awariful-Ma’arif karya
syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan
mereka. Kitab itu menjadi dasar bagi para guru tarekat Chisytiyah dalam
mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang salik yang tidak memiliki referensi spiritual, maka kitab Kasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”.
Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas, baik di negeri Muslim maupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’ nya. Dengan ‘matsnawi’-nya,
Maulana Jalaluddin Rumi (w. 1273) menjadikan puisi-puisi karangannya
sebagai salah satu pusat inspirasi spiritual. Orientalis yang sangat
berjasa dalam memperkenalkan tarekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold
A. Nicholson yang bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi
juga menerjemahkan seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam
bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh
lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat
adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan
penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi.
Tarekat
Ni’matullohi, tarekat kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah
kelahirannya maupun di dunia Barat. Tokoh tarekat ini adalah Javad
Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Saat ini, tarekat
Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan
khususnya di Persia (Iran). Dalam ajarannya, tarekat ini lebih
menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia,
penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih
kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya,
dan kebangsaan. Dalam tarekat ini, praktik tasawuf bertujuan menciptakan
kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati untuk
menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran tasawuf harus
bertujuan membidik realitas muslim agar dapat dibangkitkan perasaan
cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai
agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf inilah, segala perbedaan dan
perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus
mengarahkan perhatiannya hanya kepada wilayah keesaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan kemanusiaan.
Terakhir, tarekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui
kitab ini sejumlah tarekat mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua
kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Syekh as-Sanusi telah mendirikan sebuah zawiyah
di Abu Qubais Makkah, tapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada
tahun 1840 dan kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal
Akhdar di daerah Curenaica.
Demikianlah
sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran tarekat yang masuk ke
Indonesia, di samping tarekat-tarekat lain yang tidak kami sebutkan,
disebabkan kurang berkembang dan tentunya kurang banyak diminati oleh
orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar