"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Rabu, 30 Januari 2013

Gus Dur Tentang Tradisi dan Modernitas

Berbicara tentang tradisi dan modernitas dalam pandangan Gus Dur, mesti dimulai dengan pengertian tentang kebudayaan atau budaya. Menurut Gus Dur kebudayaan adalah “seni hidup yang mengatur kelangsungan hidup dan menjadi pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial. Dengan kata lain kebudayaan adalah suatu yang luas mencakup inti hidup dari kehidupan suatu masyarakat”; atau “penemuan suatu masyarakat dalam arti buah yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dan manusia, kelompok dan kelompok, dan kebudayaan hanya menjadi kebudayaan kalau ia hidup dan mengacu pada kehidupan.” Pengertin ini adalah pengertian budaya secara luas.
Karena kebudayaan berhubungan dengan masyarakat, maka kebudayaan juga dimaksudkan Gus Dur dengan “kolektivitas dari pengalaman lahir dan batin seluruh warga masyarakat, baik didasarkan pada metabolisme biologis atau kebutuhan psikologis, dan kecanggihan pemikiran.” Akan tetapi Gus Dur juga menyebutkan: “Budaya adalah kegiatan berpikir, bertindak dan merasa yang dilakukan masyarakat yang menampilkan identitasnya sebagai suatu kesatuan.” Definisi ini menjembatani arti luas dan sempit yang berkembang tentang budaya: pertama, yang luas berarti “keseluruhan pola perilaku sosial dan individual manusia di suatu kawasan (atau dalam pengertian di atas); kedua, pengertian sempit, yaitu “buah penalaran dan pandangan belaka, sehingga mengarah pada hasil seni dan sastra.”

Dengan demikian, kebudayaan selalu mencakup di dalamnya juga tradisi, dinamika di dalam masyarakat, dan modernisasi, di samping unsur-unsur yang lain. Sebab kebudayaan mengandung di dalamnya unsur-unsur: kompleks gagasan, konsep, dan pikiran masyarakat; kompleks aktivitas  masyarakat; dan wujud material benda atau fisik. Ada juga yang menyebutkan unsur-unsur kebudayaan dalam 7 bagian, yaitu: sistem religi dan ritual, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan dan sistem pemikiran, mata pencaharian, teknologi, bahasa, dan kesenian.
Menurut Gus Dur, dalam berbagai unsur itu, kebudayaan  selalu berhubungan dengan  human social life, yang terdiri dari tiga pokok penting, yaitu ekonomi, politik, dan negara. Pandangan ini mencerminkan pengaruh adanya ilmu sosial kritis yang menggariskan melihat perubahan sosial, juga harus melihat dan membaca dari sudut ekonomi, politik dan negara, di samping pengaruh-pengaruh lain.
 ***
 Dengan demikian, tradisi adalah bagian dari kebudayaan masyarakat. Di sini, maksud tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat; adat kebiasaan yang turun-temurun dari nenek moyang yangg masih dijalankan dalam masyarakat; ada dimensi penerusan dari generasi ke generasi secara tertulis maupun lisan; dan ada aspek material fisiknya serta nilai-nilainya. Tradisi dalam artian ini menyangkut keseluruhan aspek kehidupan dalam kebudayaan masyarakat: ada tradisi ekonomi, tradisi politik,  dan lain-lain.
Dengan demikian tradisi adalah bagian penting dari kebudayaan, karena tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup, langgeng, diteruskan, dan dilestarikan masyarakat. Karena tradisi menjadi inheren dalam kebudayaan masyarakat, bahkan yang menyangganya, maka dia selalu dan ingin dipertahankan, karena bisa menciptakan kesatuan, kohesifitas, dan daya tahan identitas masyarakat. Hanya saja, meski tradisi  selalu dianggap baik, tetapi dia akan selalu berhadapan dengan kenyataan sosial yang terus menerus berubah, dan ini tidak bisa dielakkan oleh semua tradisi.
Oleh karena itu, Gus Dur menyebutkan, suatu yang terus menerus menjadi bahan diskusi, perdebatan, dan obrolan bahkan di kalangan orang yang memiliki tradisi dalam sebuah masyarakat (jadi bukan hanya bagi pengamat), yaitu: “Suatu aksi rasional yang sambung menyambung dalam suatu keterpaduan untuk memahami, mengubah, mempertahankan kebudayaan itu sambil memberikan kemungkinan untuk diubah lagi demi kehidupan berkelanjutan menuju kehidupan sosial yang manusiawi,” yang berarti setiap perubahan selalu ada tantangannya; dan jalan ke arah perubahan harus menyediakan ruang terhadap perubahan lanjutan.
Di sini,  jelas setiap tradisi berhadapan dengan  tantangan pengembangan, karena ada faktor-faktor yang mendorong adanya perubahan. Faktor-faktor ini bisa berupa teknologi, kebutuhan masyarakat, ekonomi, politik,  campr tangan negara, pemikiran yang muncul dalam anggota pelestari tradisi itu sendiri, dan lain-lain. Karena tradisi selalu dan mesti berhubungan dengan pengembangan, Gus Dur menekankan pentingnya arti dinamisasi dalam tradisi, agar sebuah tradisi bisa terus hidup, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi alat untuk menggerakkan perubahan dan meresponnya.
Menurut Gus Dur dinamisasi mencakup dua proses: “Penggalakan kembali nilai-nilai hidup lama yang positif (yaitu tradisi yang ada), selain itu juga mencakup penggantian nilai-nilai lama  dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai ini disebut modernisasi, dan dengan sendirinya pengertian modernisasi terkandung dalam dinamisasi itu.” Dalam kata dinamisasi di sini, mengandung pemahaman “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan  dengan menggunakan sikap hidup, nilai-nilai, dan peralatan yang telah ada,” yang berarti perubahan terus menerus sebagai bagian dari upaya kemanusiaan penyempurnaan kualitas masyarakat itu sendiri dengan berpijak pada tradisi. Dan, dinamisasi itu sendiri, bukanlah westernisasi, dan Gus Dur tidak menginginkan adanya westernisasi ini.
Bahkan Gus Dur sampai berkesimpulan: “Nilai-nilai keindoneisaan kita adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.”  Ada tiga pilar penting yang menjadi ciri nilai-nilai sejenis ini, yaitu: solidaritas sosial; nilai yang menampilkan kosmopolitanisme (menjadi bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun); dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat berlingkup luas, tetapi berhadapan di sisi lain dengan rendah hati yang timbul dari kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan diri  berhadapan dengan tantangan dramatis kehidupan mereka.
Dinamisasi ini, berbeda dengan apa yang disebut sebagai revolusi atas tradisi atau revolusi budaya. Dalam revolusi budaya, yang ada adalah penaggantian total, dan penguburan dalam-dalam atas tradisi yang sudah ada atau kebudayaan yang ada, bahkan dengan cara berdarah-darah sekalipun. Dalam revolusi, penggantian dengan hal-hal baru seringkali menyakitkan dan menimbulkan luka-luka mendalam bagi masyarakat pembela tradisi, meski revolusi itu berhasil sekalipun. Luka-luka ini sulit disembuhkan dan akan bergerak ke area-area terdalam masyarakat secara sembunyi-sembunyi sebagai bahan dari resistensi, dan dalam tahap tertentu akan membesar menjadi “pembrontakan” kebudayaan.
Dengan demikian, menurut Gus Dur perubahan struktur masyarakat tanpa Karl Marx, dimungkinkan dan dibutuhkan masyarakat kita. Perubahan jenis ini adalah dengan mengedepankan transformasi struktur. Syaratnya adalah adanya kreativitas masyaraka atau masyarakat sipil yang kuat, yang memiliki idealitas, meski tentu saja dengan tetap menerima sebagian cara analisis sosial-ekonominya Marx. Jadi tidak membuang Marxisme sama sekali, dan juga tidak menerima sepenuhnya. Yang diinginkan adalah penguatan masyarakat yang bisa mengimbangi kekuatan negara, sehingga muncul kontrol public yang tajam dan kuat.
Tentu saja arah pengembangan sebuah tradisi yang berart dinamisasi haruslah diorientasikan pada kebutuhan-kebutahan yang dianggap jauh lebih sempurna dan baik, baik dari sisi pertimbangan ekonomi, politik, dan agama sekalipun, bagi masyarakat tradisi itu sendiri. Secara gradual, hasil-hasil dari dinamisasi harus bisa dirasakan dan dianggap lebih sempurna bagi masyarakat. Tanpa ini, sebuah dinamisasi pasti akan gagal dengan sendirinya. Penyesuaian-penyesuaian ini, dan karenanya bukan perombakan total, selalu  dan mesti ada negosisasi di antara sesama masyarakat sendiri. Kalaupun sudah disetujui, perubahan ini selalu dan mesti membutuhkan strategi agar dinamisasi itu berjalan dengan apik dan membuahkan hasil. Pepatah dan kata bijak yang cocok untuk ini, pernah dipakai dan diungkapkan Gus Dur dengan mengungkap: “Memancing ikan dengan tanpa membuat kolam keruh”; atau “jadilah ikan tawar, meskipun di taruh di lautan akan tetap tawar,” dan kata-kata yang terakhir ini berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Di antara kebutuhan-kebutuhan dalam dinamisasi tradisi dan kebudayaan masyarakat kita, menurut Gus Dur adalah mendesentralisasi pengembangan sebuah pola kehidupan yang diseragamkan atau sentralisasi, yang sebenarnya disebutnya sebagai “tidak berbudaya”. Yang dibutuhkan kemudian adalah: dijamin hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi tradisi dan budaya dalam arti seluas-luasnya; penyediaan peluang menampilkan ekspresi budaya haruslah dikaitkan dengan kebutuhan dasar akan pencarian jatidiri bangsa kita sendiri, dan ini bisa menyangkut ekonmi, sosial, pendidikan, dan politik; dan perlunya ditekankan pengembangan kreativitas budaya yang mengacu pada peningkatan rasa kebersamaan kita sebagai bangsa dan persamaan kedudukan warga masyarakat di muka UU. Tiga hal ini akan membuat peranan masyarakat kuat.
 ***
 Karena kebudayaan diandaikan sebagai bagian dari kreativitas manusia atau masyarakat, maka dalam level tertentu dia dipertentangkan dengan agama, meskipun hal seperti ini tidak tepat secara keseluruhan. Oleh karena itu, terjadi dan sering ada ketegangan antara tradisi dan kebudayaan masyarakat dengan agama, apalagi dengan modernisasi, dan ini tidak perlu disesali atau ditangisi. Menyikapi ini, Gus Dur mengatakan: “Bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan adalah mencari jalan tengah. Ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena itu justru memungkinkan bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.”
Bagi umat Islam, Gus Dur menyebutkan ada dua dilema: adanya keinginan menerapkan semata ketentuan-ketentuan tekstual, karena menganggap kebudayaan sebagai kreasi manusia dan agama sebagai wahyu Allah; dan ada juga keinginan sebagian umat “untuk tidak menerapkan sumber tekstual secara harfiah, melainkan dengan perlu mencari cara menyesuaikan sumber-sumber tekstual itu dengan kenyataan yang ada. Mengikuti pola kedua ini, kata Gus Dur tidak mesti harus seluruh “hukum agama dijadikan hukum nasional in toto, tetapi hanya partikel-partikel yang dapat diterima semua phak  yang diundangkan oleh negara”.
Untuk menyebutkan dan menaggambarkan secara konkret perlunya dinamisasi dalam tradisi hubungannya dengan agama Islam, di antaranya Gus Dur menawarkan strategi yang secara orisinil, disebut dengan pribumisasi Islam, yaitu “mempertimbangkan kebutahan-kebutahan lokal dalam merumuskan ketentuan dan hukum agama, yang ini berarti dimungkinkan adanya perubahan pada partikel-partikel, tetapi tidak pada aliran besarnya.”
Aliran besarnya ini adalah termasuk nilai-nilai dasar, yang sering dirujuk Gus Dur sebagai ahkâm al-khamsah: memelihara keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum;  keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; keselamatan keluarga dan keturunan; keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum; dan menyelamatkan hak milik dan profesi.
Dengan demikian, menurut Gus Dur wahyu dipahami bukan hanya normanya saja, tetapi juga harus memperhatikan kesadaran hukum dan rasa keadilannya; dan tidak dimaksudkan meninggalkan norma untuk  diganti dengan budaya, tidak. Yang terpenting  kata Gus Dur adalah “menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang sudah disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan ushûl fiqh dan al-qawâ`id al-fiqhiyah.
Contoh ringannya, Gus Dur menyebutkan al-Qur’an tetap dengan bahasa Arab dan ini tidak bisa diganggu, tetapi terjemahan dibutuhkan agar orang bisa memahaminya. Secara praktik, khususnya di Indonesia, setiap agama, termasuk Islam, juga harus mempertimbangkan Pancasila, dan ini mutlak diperlukan kalau kita ingin hidup mengarungi secara bersama sebuah bangsa bernama Indonesia. Pancasila aladah lokalitas dan tradisi yang telah disepakati, berhadapan di satu dengan agama-agama.
Dalam pranata sosial masyarakat Islam, dinamisasi harus memberikan ruang pada dua hal: pertama, regenerasi yang memungkinkan sistem sosial masyarakat Islam mengakomodasi kalangan muda; kedua, perlu sebuah rekonstruksi dengan menyediakan bahan-bahan yang memadai untuk menjadi referensi pembacaan terhadap situasi, posisi, dan proyeksi ke depan bagi kelangsungan masyarakat. Dengan demikian, jelas diperlukan bahan-bahan bacaan yang luas. Bacaan-bacaan ini dipergunakan untuk menggerus syarat penting dinamisasi, yaitu sikap yang terbuka yang menurut Gus Dur: “Keterbuakaan telah membuat kaum muslim selama sekian abad, menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu atau yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia)…” Hanya saja, keterbukaan yang membabi buta adalah westernisasi, dan ini ditolak sama sekali oleh Gus Dur.
Agar keterbukaan tidak semata-mata emoh ekslusifisme, tetapi juga menjadi kerja-kerja dinamisasi yang bermanfaat, dia harus menyediakan ruang pada tiga hal mendasar: pertama, harus didasarkan pada kreativitas yang berkembang terus menerus, sebagai implementasi dari posisi manusia sebagai khalîfah fi al-ardh; kedua, pengembangan kreativitas memerlukan pengembangan dan perbedaan dalam masyarakat dihormati, dan bahkan pendapat yang paling kurang ajar pun harus dilindungi, karena hanya dengan itulah pendapat yang dianggap paling benar akan bisa muncul; dan ketiga, pengembangan tradisi dan budaya harus  diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat manusiawi semua warganya, dan kemanusiaan inilah yang perlu digunakan untuk mengukur kegunaan sebuah bentuk budaya, termasuk di dalamnya adalah menjadikan masalah-masalah riil masyarakat sebagai bagian dari masalah kerja-kerja keislaman. Bahkan Gus Dur juga menghendaki: “Walaupun atas nama agama (termasuk Islam), setiap kegiatan yang menyebabkan kegiatan kemanusaan mengalami kemunduran, haruslah dihilangkan.”
Di bagian lain Gus Dur menyebutkan strategi pengungkapan dinamisasi, selain  dengan kata pribumisasi Islam, juga dengan strategi pembungkusannya secara canggih lewat simbol-simbol yang berkembang dalam tradisi. Gus Dur mencontohkan dua hal penting sebagai ilustrasi: pertama, untuk mendinamiskan pendidikan  di Tebuireng, KH. Abdul Wahid Hasyim  membungkus dengan istilah nizhâmiyah, dengan mengakomodasi ilmu berhitung dan sejarah yang sebelumnya tidak ada; dan KH. Mahfudz Shidid menggunakan istilah mabâdi khaira ummah untuk melakukan perubahan-perubahan membangun ekonomi masyarakat pedesaan. Istilah-istilah itu dikenal dalam masyarakat pesantren.
Dengan penggunaan simbol-simbol yang sudah ada dalam tradisi, tetapi kemudian diberi makna dan sentuhan orientasi yang lebih tajam dan proyeksi ke depan, maka simbol itu: di satu sisi bisa diisi dengan agenda dinamisasi yang berarti juga modernisasi secara positif; dan di sisi lain mengurangi efek resistensi dalam masyarakat tradisi itu sendiri. Oleh karena itu, Gus Dur mengkritik juga sebagian anak muda yang mengungkapkan pemikirannya dengan tidak memakai strategi “pembungkusan secara canggih”. Gus Dur mengatakan demikian: “Secara substansi apa yang Anda lakukan sudah betul, tetapi gaya yang Anda lakukan itu menggunakan gaya pembaharuan. Jadi akhirnya ditolak kiai sepuh. Jadi, di sini perlunya kemasan atau bungkus…” tetapi ini harus dibedakan dengan “pemimpin yang hanya getol memupuk citra, tetapi tanpa isi atau isinya tidak mendalam.” Yang dikemukakan Gus Dur adalah justru kualitas isinya harus diperberat dan mendalam, hanya pengungkapannya bisa dengan menggunakan simbol yang sudah ada. [nur khalik ridwan]
*)   Sebagai bahan diskusi  di Griya Gusdurian, 27 April 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar