"Ketahuilah, bahwa tashawuf itu ialah patuh mengamalkan perintah dan menjauhi larangan lahir dan bathin sesuai dengan ridha-Nya, bukan sesuai dengan ridhamu" (Asy-Syaikh Ahmad At-Tijani, Jawahirul Ma'ani, 2 : 84)

Rabu, 16 Januari 2013

Talqin Dzikir dan Ma'rifatullah

Keutamaan Ilmu sebelum Melakukan Ibadah dan Amal Sholeh
ISLAM, IMAN, dan IKHSAN, adalah suatu kesatuan kondisi atau martabat yang harus diraih dan dimiliki setiap insan untuk mencapai derajat “Khalifah fir Ard” - hakikat diciptakan manusia, derajat mulia dalam pandangan Allah SWT. Untuk meraih martabat tersebut, hal yang paling awal bagi kita adalah harus memahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan ISLAM, IMAN, dan IKHSAN itu baik secara bahasa, syari’at, maupun hakikat.

Islam menurut bahasa Arab dan Al-Qur’an berasal dari kata “Aslamu” – “Yaslimu” – “Saliima” yang berarti “pasrah” atau “menyerah”. Secara syari’at Islam adalah menyaksikan Allah dan menyaksikan Rasulullah SAW, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Ummar bin Khatab: Islam itu adalah bahwasanya engkau menyaksikan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah. Sedangkan hakikat Islam itu sendiri adalah mengenal akan Nur Allah. Sebagaimana yang firman Allah dalam QS. Al-An’am: 125, ”Barang siapa yang Allah menghendaki Islam dalam dirinya (diri seseorang) maka dilapangkan dadanya”. Agar mengenal dia akan Nur Allah yang ada dalam dadanya, firman Allah Q.S. Az-Zumar: 22, ”Maka orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima Al-Islam dialah mendapat Nur (cahaya) dari Allah.

Iman menurut bahasa berarti “percaya”. Secara syari’at Iman adalah membenarkan (mentasdiqkan) dengan qalbu/hati, menyatakan dengan lisan, dan melaksanakannya dalam bentuk perbuatan. Iman bukanlah sesuatu yang dinyatakan dalam lisan saja namun harus terhunjam dalam hati yang paling dalam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 14 yang berbunyi: Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, karena iman itu belum masuk ke dalam HATI-mu”, dan dalam QS. Al-Baqarah: 10: Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Sedangkan hakekat Iman adalah senantiasa berhubungan atau ingat kepada Allah (dzikrullah). Sehingga begitu disebut nama Allah, bergetarlah hatinya dan imannya bertambah. Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah HATI mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal: 2).

Ikhsan menurut bahasa adalah yang terbuka. Secara syari’at Ikhsan adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Ya Rasul apakah ikhsan itu? Rasul menjawab: Ikhsan adalah hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka engkau harus yakin bahwa sesungguhnya Ia melihatmu.” Sedangkan hakekat Ikhsan adalah berjumpa dengan Allah atau senantiasa memandang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Kahfi: 110: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Martabat kemuliaan tersebut tidaklah mungkin dicapai dengan tanpa dasar ilmu. Ilmu adalah inti dari ibadah, barangsiapa yang mengerjakan sesuatu (terlebih-lebih dalam beribadah kepada Allah) tanpa didasari ilmu, maka sia-sialah amal ibadahnya dan kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. As-Israa’: 36, “Dan janganlah kamu berbuat (melakukan) sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hatimu, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. Maka, menuntut ilmu hukumnya wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan, sebelum melakukan segala sesuatu. Dan bagi orang yang berilmu, Allah mengangkat derajatnya setinggi-tingginya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Mujadalah: 12: “Orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang berilmu, Allah akan mengangkat derajatnya”. Yang menjadi permasalahan adalah ilmu yang mana yang hukumnya wajib dipelajari, karena tidak semua ilmu itu hukumnya wajib dipelajari. Wajib artinya apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Adapun ilmu yang wajib itu adalah ilmu menyaksikan (musyahadah) dan mengenal Allah (ma’rifatullah).

Penyaksian kepada Allah adalah esensi yang paling mendasar bagi setiap insan. Sebelum ruh manusia ini diturunkan ke dunia ini, sewaktu di alam arwah sudah diambil kesaksian atas diri-diri tiap manusia dengan tujuan agar setiap individu manusia mengenal-Nya, dan jangan sampai di hari akhir hal ini diingkarinya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya dalam QS. Al-A’raf: 172-173: Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak keturunan Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh (jiwa) mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Ruh-ruh itu menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-rang yang lengah terhadap kesaksian ini”.

Pentingnya Mengenal Allah ditegaskan langsung oleh Allah dengan memperkenalkan diri-Nya kepada Nabi Musa a.s. di Bukit Tursina: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14). Dan juga dalam QS. Muhammad: 19: Maka ketahuilah (oleh kamu dengan ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. Kemudian Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi: "Aku ini ibarat gudang perbendaharaan, maka berharap Aku untuk dikenal. Oleh karena itu, Aku ciptakan makhluk agar diri-Ku dikenal" (Bihar Al-Anwar). Agar supaya penyaksian di alam arwah tidak terputus di dunia ini, maka Allah mengutus Rasul-Nya dan mewahyukan kepada mereka untuk mengingatkan kembali kepada umat manusia akan penyaksian mereka kepada Allah agar mereka dapat mengenal-Nya sehingga tidak salah dalam menyembah-Nya. Firman Allah dalam QS. Al-Anbiyaa’: 25: Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.

Rasulullah SAW sehubungan dengan pentingnya mengenal Allah sebelum menyembahNya, bersabda dalam hadits riwayat Bukhari: “Sesungguhnya yang paling utama dan paling pokok adalah mengenal Allah sebelum menyembah”. Sayyidina Ali k.w. dalam Nahjul Balaghah, mengatakan bahwa: "Awwaluddin Ma'rifatullah", artinya: “Awal agama adalah mengenal Allah". Dan Ibnu Ruslan dalam kitab Matan Zubad berkata: “Tidak sah ibadah seseorang kecuali dia mengenal yang ia sembah. Yang paling utama dan diwajibkan bagi setiap mukallaf adalah mengenal Allah dengan yakin”.

Sedemikian pentingnya musyahadah dan ma’rifatullah ini dalam melakukan segala amal perbuatan sehingga tidaklah mungkin kita dapat beribadah secara ikhlas tanpa mempelajari musyahadah dan ma’rifatullah terlebih dahulu. Bagi orang yang tidak mampu bermusyahadah dan mengenal Allah karena hatinya buta (tidak berilmu) maka ia berada pada kesesatan yang nyata, tidak akan kembali ke jalan yang benar, dan bagi mereka disediakan neraka jahanam.
- Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta dan sesat jalannya. (Q.S. Al-Israa’: 72).
- Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (mengenal Allah) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar ? Karena sesungguhnya bukanlah mata kepala itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada. (QS. Al-Hajj: 46).
- Mereka itu tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). (QS. Al-Baqarah: 18).
- Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya hati tetapi tidak digunakan memahami (berdzikir kepada Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (memandang Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (dzikrullah yang ada dalam hati). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179).

Yang menjadi permasalahan sekarang, bagaimana cara dan metoda untuk mempelajari dan menanamkan ILMU yang sangat terang itu ke dalam diri setiap manusia. Dan bagaimana hal ini dilakukan oleh Baginda Rasulullah SAW dan para sahabat serta para ulama pewaris beliau. Proses penanaman ILMU inilah yang disebut TALQIN (yang secara tata bahasa berarti PENGAJARAN).

Talqin (Pengajaran)
Banyak orang salah tafsir atau bahkan alergi dengan kata talqin, dan memahami bahwa yang ditalqin itu hanyalah mayyit (talqin mayyit dan talqin kubur). Talqin, secara bahasa berasal dari kata dalam bahasa Arab “Laqina” – “Yalqin” – “Laqnan” – “Talqinan”, yang berarti “mengajarkan”. Secara istilah (syar’i), talqin berarti proses/kegiatan belajar dan mengajar, khususnya dalam ilmu tauhid (haqiqat).

Dalam adab taklim-mutaklim (belajar-mengajar), setidaknya ada tiga rukun yang harus ada sehingga terjadinya proses belajar-mengajar, yaitu: ilmu yang diajarkan, orang yang belajar, dan orang yang mengajar. Imam Ahmad dan Muslim dalam kitab Jamius Shaghir meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: ajarkan yang mau mati itu kalimah laa ilaaha ilallah. Berdasarkan sabda Rasulullah tersebut, siapa yang harus ditalqin (diajarkan) ? Yang harus ditalqin adalah yang mau mati ? Siapa yang mau mati ? Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiyaa’: 34-35: Semua yang bernafas akan mati. Jadi yang ditalqin adalah semua yang bernafas, tepatnya orang yang masih sehat dan memiliki kemampuan menerima ilmu tersebut (karena semua orang akan mati), bukan orang yang sedang sekarat. Lalu, apa yang harus ditalqinkan ? Yaitu ilmu dari kalimah tauhid laa ilaaha illallah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Muhammad: 19: Maka ketahuilah (oleh kamu dengan ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah, agar setiap orang mampu bersaksi (bermusyahadah) kepada Allah untuk mengenal Dia (ma’rifatullah).

Pengajaran Ilmu Musyahadah dan Ma’rifatullah tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh mereka yang telah paripurna dalam bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah, yang di dalam dada mereka itu ayat-ayat Allah nyata dan jelas, mereka itulah pewaris para nabi.
- Yang mampu menyaksikan Allah adalah Dia Allah tiada tuhan melainkan Dia, para Malaikat, dan orang-orang berilmu. Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. (QS. Ali Imron: 18).
- Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu. (QS. Al-‘Ankabut: 49).
- “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl: 43).
- Dari Sayyidina Ali k.w., Rasulullah SAW bersabda: ulama (orang-orang yang berilmu) itu sebagai lampu-lampu di bumi pengganti para nabi, pewarisku dan pewaris para nabi. (HR. Ibnu Ady).

Siapa mereka yang dikatakan orang-orang berilmu itu di zaman sekarang? Dan bagaimana mengenali mereka? Itulah mereka yang dalam dadanya mewarisi ilmu yang ada dalam dada Rasulullah. Mereka memiliki Rantai Emas (Golden Chain) atau sanad silsilah keilmuan yang jelas dan tidak terputus sampai kepada Baginda Rasulullah SAW.

Adapun hal-hal yang disampaikan atau dibuka rahasia ilmunya dalam talqin adalah :
1. Mengetahui Hati (Letak dan Cara Membersihkan Hati)
Hati adalah segumpal daging (mudghoh) yang menentukan baik-buruknya manusia dalam pandangan Allah. Hadits Rasulullah SAW: Sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal daging (mudghah), apabila baik maka baik semua jasadnya. (HR. Bukhari-Muslim). Hati di sini bukan hati (hepar/liver) menurut ilmu kedokteran, melainkan hati yang lathif yang berhubungan dengan “Lathifah Robbaniyyah”. Begitu pentingnya pengetahuan tentang hati ini dalam berhubungan dengan Allah karena hati adalah sarana untuk mengenal dan memandang wajah Allah, sesuai firman Allah dan sabda Rasulullah SAW : Dan barangsiapa yang buta (dalam mengenal dan memandang Allah) di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta dan sesat jalannya. (QS. Al-Israa’: 72). Karena sesungguhnya bukanlah mata kepalanya itu yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya yang ada dalam dada. (QS. Al-Hajj: 46). Hati orang mukmin itu baitullah (Al-Hadits). Mengapa kita perlu mengetahui hati?
- Agar dapat meletakkan niat yang ikhlas. Sabda Rasulullah SAW: Innama a’maluna bin niah. Anniyatu fii qolbi, artinya segala sesuatu dengan niat. Niat itu adanya di dalam hati (HR. Bukhari - Muslim).
- Agar dapat membersihkan penyakit yang ada dalam hati, sesuai firman Allah: Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta, (QS. Al-Baqarah: 10). Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka akan ditambahkan lagi penyakit dalam hatinya itu, di samping penyakit yang sudah ada, dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS. At-Taubah: 125). Kemudian setelah (kebenaran itu disampaikan) hatimu menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams: 9-10). Sabda Rasulullah SAW: Kalaulah tidak karena syetan-syetan yang menutupi hati anak Adam, pastilah ia dapat melihat tahta Kerajaan Langit dan Bumi (Al-Hadits).

2. Mengenal Diri dan Mengenal Allah
Dalam hadits qudsi Allah berfiriman: Manusia adalah gudang dari rahasiaKu dan Aku adalah gudang dari rahasianya. Barangsiapa yang kenal dirinya kenallah ia akan Tuhannya. Setelah mengetahui letak hati maka langkah selanjutnya adalah dibukakan rahasia tentang Nur Allah dalam dada/qalbu (hati) agar mengenallah kita akan Nur Allah yang tidak terpisah dari Dzat Allah, sehingga kita mampu merasakan getarannya (getaran keimanan) dan kekhusyu’an dalam setiap ibadah, serta kita mampu meng-Esakan Allah dengan sebenar-benarnya (terhindar dari syirik). Inilah yang firman Allah dalam QS. Al-An’am: 125, ”Barangsiapa yang Allah menghendaki Islam dalam dirinya (diri seseorang) maka dilapangkan dadanya”. Agar mengenal dia akan Nur Allah yang ada dalam dadanya, sesuai firman Allah dalam QS. Az-Zumar: 22, ”Maka orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima Al-Islam dialah mendapat Nur (cahaya) dari Allah.

3. Cara Berhubungan dengan Allah (Dzikrullah)
Setelah diajarkan (talqin) mengenal Nur Allah maka kewajiban selanjutnya bagi kita adalah bagaimana kita dapat senantiasa (berkekalan) berhubungan dengan Allah. Dzikir adalah cara berhubungan dengan Allah. Allah akan beserta hambaNya manakala dia mengingat Allah. Ingatlah (berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu (QS. Al-Baqarah: 24). Dan Aku beserta hamba-Ku manakala ia mengingat-Ku (Hadits Qudsi). Dzikir membuat hati orang beriman tenteram. Dengan berdzikir juga setiap insan mampu mengembalikan segala permasalahan kepada Allah untuk mendapatkan petunjuk, serta setiap insan dapat berserah diri dengan sebenar-benarnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini (Q.S. Al-Kahfi: 24). Kemudian, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (dzikrullah) hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d: 29). Dan “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57). Dzikir adalah ibadah terbesar, sehingga harus dilakukan dengan adab dan tata aturan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Baginda Rasulullah SAW dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Apa makna dan tujuan berdzikir? Bagaimana cara berdzikir? Di mana tempat berdzikir? Dan apa barometer dzikir yang benar. Inilah yang disebut dengan talqin dzikir.

Inilah inti Al-Islam, mutiara yang tak ternilai harganya, yang saat ini seakan terlupakan oleh umat Islam karena kebodohan, kesombongan, dan ketamakan hidup. Sehingga Islam kehilangan ruhnya. Islam seakan tidak lebih dari sekedar simbol tanpa kekuatan. Padahal umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia. “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (seluruh) manusia, menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran” (QS. Ali Imron: 110).

Bimbingan Talqin Ma’rifatullah dan Talqin Dzikir
Dari uraian-uraian sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa bermusyahadah, berma’rifat, dan dzikir kepada Allah adalah suatu kewajiban yang paling awal dan paling utama bagi setiap orang mukallaf (akil-balik) sebelum melakukan ibadah dan amal shaleh lainnya. Timbul pertanyaan bagi kita: di tengah hiruk-pikuknya kehidupan ini, di mana kita dapat mempelajari mutiara ilmu ini? Jawabannya akan Anda dapatkan di Yayasan Perguruan Fathurrobbani Pangandaran Jawa Barat. Melalui bimbingan langsung seorang mursyid kamil mukammil (paripurna) yang memiliki sanad silsilah keilmuan sampai kepada Rasulullah SAW, dengan berpedomankan pada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang senafas dengan Al-Qur’an, Anda akan diantarkan pada pengetahuan (teori dan praktek) bermusyahadah, berma’rifatullah, dan dzikrullah, sehingga setiap perbuatan Anda bernilai ibadah dalam pandangan Allah. Dengan mengikuti talqin, kita tidak hanya diajarkan metode dzikir semata, tetapi juga dikenalkan Anda pada Nur Allah dan Nur Muhammadiyah sebagai langkah yang benar untuk dapat mengesakan Allah, sehingga selamat dari kemusyrikan. Apalah nilai dari mengingat nama tanpa mengenal yang Empunya nama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar